Bangun Desa dan Kawal Pembangunan

Editorial

Polemik kewenangan pengelolaan desa akhirnya berakhir. Melalui rapat terbatas, urusan desa menjadi kewenangan dua kementerian; Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Desa, PDT dan Transmigrasi.

Terlepas dari polemik yang menyertainyanya, kehadiran UU No 6/2014 menjadi skema baru model pembangunan. Panduan dan dasar membangun Indonesia dari desa.

Bergulirnya UU Desa membawa semangat baru dalam kehidupan desa. Relasi kehidupan antara negara dan desa yang digariskan membuat desa menjadi entitas yang cukup kuat. Desa memiliki kewenangan untuk mengatur dirinya sendiri secara mandiri, bernuansa local dan dikerjakan sendiri.

Wewenang Desa

Aspek kewenangan tersebut terdapat dalam pilar yang disebut adalah asas rekognisi dan asas subsidiaritas.

Asas rekognisi adalah asas yang terkait soal hak asal usul atas kehadiran desa. Asas rekognisi memberikan pengakuan dan penghormatan kepada desa terhadap identitas desa, adat istiadat yang berlaku, kebiasaan pengelolaan desa, sistem pranata sosial dan kearifan lokal yang berkembang dan tumbuh di desa.

Sebuah jaminan atas keragaman desa, kedudukan dan kewenangan desa dalam mengatur jalanya pemerintahan desa. Karena itu, asas rekognisi terkait erat dengan keadilan, kewargaan dan kebangsaan, serta selaras dengan isu desentralisasi yang telah berkembang.

Desa bukanlagi sebagaimana dikonstruksikan seperti masa orde baru yang hidup dalam keseragaman dan hidup dalam bayang-bayang patronase politik negara (Hans Anthlov, 2002).Desa atau yang disebut dengan nama lain berhak atas kedaulatan dan sejarah mereka masing-masing. Tentunya, asas rekognisi yang berkembang dan dikembangkan bersifat kontekstual dan konstitusional.

Asas rekognisi juga tak bisa dipisahkan dengan asas subsidiaritas.  Asas subsidiaritas berarti pemberian kewenangan kepada desa untuk mengatur, mengelola dan memanajemeni permasalahan desa secara lokal.  Dengan asas ini desa bisa tentukan arah dan kebijakan pembangunan dengan perencanaan sendiri. Satu desa, satu rencana, satu anggaran.

Berangkat dari kedua asas tersebut, pembangunan berbasis desa menemukan momentum yang paling krusial. Desa kini bukan lagi sekedar kepanjangan tangan negara secara otoriter dalam mengatur pembangunan, bukan lagi katalisator proyek-proyek pemerintah baik dari Kementerian/Lembaga, Pemda atau bahkan bantuan asing.

Desa ini menjadi entitas yang dapat mengatur dirinya sendiri. Pilar bagi bangsa untuk bangkit dan berdaya mandiri. Pengakuan atas desa dan pemberian kewenangan yang sedmikian luas kepada desa menjadi tonggak penting bagi pembaharuan pembangunan berbasis desa.

Bangun Masyarakat

UU Desa dengan demikian membawa harapan yang besar bagi pembaharuan pembangunan. Implementasi yang maksimal dari UU Desa akan membawa dampak yang besar bagi masyarakat. Sebab, hampir semua permasalahan mendasar bangsa berada di desa.

Tenaga kerja yang rendah, bayi kurang gizi, ibu hamil resiko tinggi, ketertinggalan, keterbelakangan, anak putus sekolah hingga tingkat kemiskinan semuanya ada di desa. Wajah tertinggalnya desa dapat diteropong dari angka kemiskinan yang jauh lebih tinggi daripada di kota. Pada September 2014, misalnya, angka kemiskinan di pedesaan 13,76 persen, sementara di perkotaan sebesar 8,16 persen (BPS, 2011).

Fakta pembangunan di desa lebih tertinggal juga dapat disimak dari tingkat urbanisasi yang makin besar.  Selama tiga dasawarsa terakhir, persentase penduduk kota meningkat dari 17,29 persen (1970) menjadi 49,79 persen (2010).

Penguatan kewenangan atas desa juga tak dapat dilepaskan akan membawa konflik yang begitu nyata besar. Asas rekognisi dan subsidiaritas membuat aparatur desa akan memiliki kewenangan yang besar dalam mengatur desa, apalagi peran BPD yang kini murni menjadi kontrol terhadap pelaksanaan pembangunan desa.

Terdapat pergeseran kedudukan BPD dari UU No 32/2004 ke UU No 6/2014. Dalam UU baru ini, BPD tidak lagi memiliki kewenangan mengatur dan mengurus desa secara penuh tetapi lembaga yang terlibat dalam fungsi pemerintahan, bukan lagi unsur penyelenggara. Pada titik inilah, pola hubungan kepala desa dan BPD akan berpola : dominatif kepala desa atau BPD-nya, kolutif, konfliktual atau bisa kemitraan (Sutoro Eko, 2014).

Itu artinya, tanpa kontrol yang kuat dominasi kelompok-kelompok yang selama ini menguasai desa akan semakin kuat mencengkram. Sangat terbuka kelompok yang selama ini mendapatkan manfaat lebih dari program-program pemerintah untuk desa akan semakin menguasi aset ekonomi politik desa.

Karena itu, tanpa pembangunan demokrasi substantif dengan peningkatan partisipasi dan kesadaran warga terhadap pembagunan. Patronase politik yang sedemikian mengakar di masyarakat desa tak serta merta bisa dihapuskan, bahkan dapat semakin kuat.

Dalam kapasitas inilah, masyarakat desa wajib untuk diberikan pemahaman terhadap peluang, kesempatan sekaligus ancaman dari UU Desa.  Optimisme terhadap peningkatan pembangunan dari UU Desa, mau tak mau harus juga disandingkan dengan realitas masyarakat desa yang tidak sepenuhnya tahu makna dan arti penting UU Desa bagi masyarakat.

Oleh karena itu, pengetahuan akan UU Desa harus menjadi bagian yang hidup ditengah masyarakat, bukan hanya elit desa belaka.

Tinggalkan komentar