Bangun Desa dan Kawal Pembangunan


Editorial

Polemik kewenangan pengelolaan desa akhirnya berakhir. Melalui rapat terbatas, urusan desa menjadi kewenangan dua kementerian; Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Desa, PDT dan Transmigrasi.

Terlepas dari polemik yang menyertainyanya, kehadiran UU No 6/2014 menjadi skema baru model pembangunan. Panduan dan dasar membangun Indonesia dari desa.

Bergulirnya UU Desa membawa semangat baru dalam kehidupan desa. Relasi kehidupan antara negara dan desa yang digariskan membuat desa menjadi entitas yang cukup kuat. Desa memiliki kewenangan untuk mengatur dirinya sendiri secara mandiri, bernuansa local dan dikerjakan sendiri.

Wewenang Desa

Aspek kewenangan tersebut terdapat dalam pilar yang disebut adalah asas rekognisi dan asas subsidiaritas.

Asas rekognisi adalah asas yang terkait soal hak asal usul atas kehadiran desa. Asas rekognisi memberikan pengakuan dan penghormatan kepada desa terhadap identitas desa, adat istiadat yang berlaku, kebiasaan pengelolaan desa, sistem pranata sosial dan kearifan lokal yang berkembang dan tumbuh di desa.

Sebuah jaminan atas keragaman desa, kedudukan dan kewenangan desa dalam mengatur jalanya pemerintahan desa. Karena itu, asas rekognisi terkait erat dengan keadilan, kewargaan dan kebangsaan, serta selaras dengan isu desentralisasi yang telah berkembang.

Desa bukanlagi sebagaimana dikonstruksikan seperti masa orde baru yang hidup dalam keseragaman dan hidup dalam bayang-bayang patronase politik negara (Hans Anthlov, 2002).Desa atau yang disebut dengan nama lain berhak atas kedaulatan dan sejarah mereka masing-masing. Tentunya, asas rekognisi yang berkembang dan dikembangkan bersifat kontekstual dan konstitusional.

Asas rekognisi juga tak bisa dipisahkan dengan asas subsidiaritas.  Asas subsidiaritas berarti pemberian kewenangan kepada desa untuk mengatur, mengelola dan memanajemeni permasalahan desa secara lokal.  Dengan asas ini desa bisa tentukan arah dan kebijakan pembangunan dengan perencanaan sendiri. Satu desa, satu rencana, satu anggaran.

Berangkat dari kedua asas tersebut, pembangunan berbasis desa menemukan momentum yang paling krusial. Desa kini bukan lagi sekedar kepanjangan tangan negara secara otoriter dalam mengatur pembangunan, bukan lagi katalisator proyek-proyek pemerintah baik dari Kementerian/Lembaga, Pemda atau bahkan bantuan asing.

Desa ini menjadi entitas yang dapat mengatur dirinya sendiri. Pilar bagi bangsa untuk bangkit dan berdaya mandiri. Pengakuan atas desa dan pemberian kewenangan yang sedmikian luas kepada desa menjadi tonggak penting bagi pembaharuan pembangunan berbasis desa.

Bangun Masyarakat

UU Desa dengan demikian membawa harapan yang besar bagi pembaharuan pembangunan. Implementasi yang maksimal dari UU Desa akan membawa dampak yang besar bagi masyarakat. Sebab, hampir semua permasalahan mendasar bangsa berada di desa.

Tenaga kerja yang rendah, bayi kurang gizi, ibu hamil resiko tinggi, ketertinggalan, keterbelakangan, anak putus sekolah hingga tingkat kemiskinan semuanya ada di desa. Wajah tertinggalnya desa dapat diteropong dari angka kemiskinan yang jauh lebih tinggi daripada di kota. Pada September 2014, misalnya, angka kemiskinan di pedesaan 13,76 persen, sementara di perkotaan sebesar 8,16 persen (BPS, 2011).

Fakta pembangunan di desa lebih tertinggal juga dapat disimak dari tingkat urbanisasi yang makin besar.  Selama tiga dasawarsa terakhir, persentase penduduk kota meningkat dari 17,29 persen (1970) menjadi 49,79 persen (2010).

Penguatan kewenangan atas desa juga tak dapat dilepaskan akan membawa konflik yang begitu nyata besar. Asas rekognisi dan subsidiaritas membuat aparatur desa akan memiliki kewenangan yang besar dalam mengatur desa, apalagi peran BPD yang kini murni menjadi kontrol terhadap pelaksanaan pembangunan desa.

Terdapat pergeseran kedudukan BPD dari UU No 32/2004 ke UU No 6/2014. Dalam UU baru ini, BPD tidak lagi memiliki kewenangan mengatur dan mengurus desa secara penuh tetapi lembaga yang terlibat dalam fungsi pemerintahan, bukan lagi unsur penyelenggara. Pada titik inilah, pola hubungan kepala desa dan BPD akan berpola : dominatif kepala desa atau BPD-nya, kolutif, konfliktual atau bisa kemitraan (Sutoro Eko, 2014).

Itu artinya, tanpa kontrol yang kuat dominasi kelompok-kelompok yang selama ini menguasai desa akan semakin kuat mencengkram. Sangat terbuka kelompok yang selama ini mendapatkan manfaat lebih dari program-program pemerintah untuk desa akan semakin menguasi aset ekonomi politik desa.

Karena itu, tanpa pembangunan demokrasi substantif dengan peningkatan partisipasi dan kesadaran warga terhadap pembagunan. Patronase politik yang sedemikian mengakar di masyarakat desa tak serta merta bisa dihapuskan, bahkan dapat semakin kuat.

Dalam kapasitas inilah, masyarakat desa wajib untuk diberikan pemahaman terhadap peluang, kesempatan sekaligus ancaman dari UU Desa.  Optimisme terhadap peningkatan pembangunan dari UU Desa, mau tak mau harus juga disandingkan dengan realitas masyarakat desa yang tidak sepenuhnya tahu makna dan arti penting UU Desa bagi masyarakat.

Oleh karena itu, pengetahuan akan UU Desa harus menjadi bagian yang hidup ditengah masyarakat, bukan hanya elit desa belaka.

”Drone” Masuk Desa


Kompas,  21 Februari 2015

Oleh: Sofyan Sjaf

Ketika mewawancarai Presiden Joko Widodo, Kompas menggunakan drone. Maka, muncullah tulisan ”Saat Drone Terbang di Atas Istana” sekaligus mengutip keinginan Jokowi agar suatu saat drone alias pesawat tanpa awak bisa masuk desa.

Pasca pemberitaan tersebut, di media sosial Twitter, para pegiat desa ramai berdiskusi tentang fungsi drone masuk desa. Tidak sedikit yang bertanya tentang substansi dronemasuk desa dan relevansinya terhadap amanat Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2014. Sebagian malah beranggapan bahwa keinginan Jokowi membawa drone masuk desa sama halnya menghadirkan teknologi yang tidak dibutuhkan desa.

Bagaimana menyikapinya

Bagi para pegiat desa dan pemerintah (pusat, daerah, dan desa), memahami UU No 6/2014 tentang Desa bukanlah hal yang sulit. Yang sulit adalah menjawab pertanyaan bagaimana pendekatan yang tepat mengimplementasikan UU Desa agar sesuai dengan konteks desa dan kebutuhannya.

Menjawab pertanyaan di atas, pemahaman tentang amanat UU Desa menjadi penting.

Menurut hemat penulis, UU No 6/2014 menyodorkan empat amanat utama :

Amanat Pertama, membangun desa berarti membangun kawasan pedesaan.

Amanat ini menitikberatkan pada dua hal, yaitu (1) desa harus dibangun dengan basis sumber daya yang dimiliki, (2) kerja sama antardesa menjadi kunci keberhasilan membangun desa.Untuk itu, data tentang peta sumber daya desa dan basis ekologi desa menjadi keharusan.

Selanjutnya amanat kedua adalah pengembangan ekonomi desa melalui badan usaha milik desa (BUM Desa) dan BUM Antardesa.

Amanat ini menitikberatkan bahwa kemandirian dan kesejahteraan desa hanya dapat diperoleh apabila desa mampu mengorganisir basis ekonomi dengan baik.

Maka, BUM Desa adalah wadah pengorganisasian ekonomi desa dan antardesa untuk menuju desa-desa yang berdikari (berdiri dengan kaki sendiri).

Dalam konteks ini, BUM Desa harus memiliki kemampuan memprediksi kekuatan ekonomi yang dimiliki desanya.

Untuk amanat ketiga adalah pelaksanaan, pemantauan, dan pengawasan dana desa. Sejauh ini, amanat ketiga ini telah tertuang dalam PP No 60/2014 tentang dana desa yang bersumber dari APBN.

Dalam peraturan pemerintah itu, pengalokasian dan pencairan dana desa ditentukan oleh sejumlah indikator, seperti jumlah penduduk, jumlah penduduk miskin, luas wilayah, dan tingkat kesulitan geografis, serta tersedianya dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Desa dan Rencana Kerja Pemerintahan (RPK) Desa (Pasal 11 s/d 20).

Kemudian, amanat keempat, yaitu sistem informasi pembangunan desa dan kawasan pedesaan.

Minimnya akses informasi masyarakat desa mendorong pemerintah dan pemerintah daerah menyediakan sistem informasi yang melibatkan partisipasi masyarakat desa untuk menghasilkan data desa, data pembangunan desa, dan kawasan pedesaan yang akurat.

”Drone” desa

Keempat amanat UU Desa di atas telah merangkum empat masalah urgen pembangunan desa dan pedesaan, yakni (1) desa dan kawasan pedesaan tidak memiliki peta visual (data otentik) yang menggambarkan isi ”rumah” (sumber daya desa) akibat keterbatasan dan minimnya akses desa terhadap data spasial.

Alhasil, perencanaan pembangunan desa yang tertuang dalam RPJM Desa dan RKP Desa tidak pernah sesuai dengan konteks kebutuhan dan tata ruang desa, (2) belum tuntasnya tapal batas dan akurasi luas desa-desa di Indonesia menyebabkan maraknya konflik vertikal ataupun horizontal, (3) lemahnya instrumen pendeteksian daya dukung desa menyebabkan desa tak mampu menolak dan melawan tekanan kapitalisasi desa, dan (4) tidak ditemukannya instrumen untuk perencanaan dan pengawasan pembangunan desa.

Atas keempat masalah itu, keinginan Jokowi untuk membawa drone masuk desa merupakan gagasan sekaligus aksi besar dari seorang pemimpin untuk membangun Indonesia dari pinggiran.

Drone desa (istilah yang penulis pakai) adalah teknologi sekaligus instrumen yang efektif-inklusif-partisipatif mampu memberikan informasi visual potensi sumber daya desa dan kawasan pedesaan (meliputi: vegetasi, kesehatan vegitasi, status dan kepemilikan lahan, pemanfaatan lahan, tapal batas atau luas, kondisi infrastruktur, kondisi pangan, potensi ekonomi, dan resolusi konflik) untuk pembangunan desa dan kawasan pedesaan.

Drone desa mampu menghasilkan citra (gambar) dengan presisi yang cukup baik dan memiliki tingkat resolusi gambar tinggi, lebih tinggi dari citra satelit.

Data yang dihasilkan drone desa berupa peta visual desa tergeoreferensi yang bisa diperbarui setiap waktu. Harganya yang relatif murah (bahkan bisa diproduksi secara massal dengan menggerakkan siswa-siswa SMK) dan pengoperasiannya dapat dilakukan orang-orang desa.

Tidak itu saja, kekuatan drone desa adalah terbukanya ruang partisipasi warga desa dalam melakukan pemetaan potensi sumber daya desanya.

Dengan demikian, keprihatinan para pihak tentang bagaimana mengawal dan mengawasi penggunaan dana desa sesuai dengan konteks kebutuhan dan tata ruang desa dapat dijawab.

Lebih dari itu, orang desa ke depan dapat berkontribusi sekaligus mengoreksi rencana tata ruang dan wilayah (RTRW) yang sejauh ini terkesan top down. Jadi jangan lagi ada keraguan membangun desa. Pertautkan inovasi dengan orang desa akan membawa perubahan substantif bagi masa depan desa dan negeri kita.

SOFYAN SJAF

Dosen Pascasarjana Sosiologi Pedesaan IPB dan Sekretaris Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan IPB

UU Desa Sesat, Desa Hancur…..


9 Februari 2013 pukul 10:33

Dalam sebuah catatan yang saya peroleh dari tulisan AA GN Ari Dwipayana dan Sutoro Eko yanmg menyebutkan bahwa dalam Pertemuan TIM PAKAR DEPDAGRI 3 Oktober lalu mendiskusikan isu desa, yang berupaya menemukan “cantolan” (interface) antara daerah dan desa dalam penyempurnaan UU No. 32/2004.

Cantolan desa dalam UU Pemerintahan Daerah ini selanjutnya akan dijabarkan dalam RUU Desa disebutkan bahwa setidaknya ada empat alasan pemerintah tidak menjadikan  sebagai daerah tingkat III.

Pertama, konstitusi tidak mengamanatkan desentralisasi sampai ke desa.

Kedua, konsep desa sebagai daerah otonom tingkat III akan mempersulit dan memperumit otonomi daerah.

Ketiga, kondisi desa-desa di Indonesia mempunyai tipologi yang sangat beragam, sehingga pengaturan desa tidak bisa disusun dalam sebuah format yang seragam, seperti halnya dengan skema daerah otonom tingkat III.

Keempat, tidak semua desa ditempatkan sebagai unit pemerintahan Negara (state government), tetapi sebaiknya juga mengakomodasi bentuk pemerintahan komunitas (community governance) yang dikelola sendiri oleh komunitas setempat, atau disebut dengan self governing community.

Ada beberapa hal yang kemudian menggelitik untuk dicermati yaitu :

 

Tidak ada Amanat Konstitusi Desentralisasi Desa…?

Bagaimana konstitusi tidak mengamanatkan desentralisasi sampai ke desa, sedang dalam UU 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan Pasal 7 ayat (1) disebut Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat adalah hirarki perundangan setelah UUD sebelum Undang undang, dan dalam  desentralisasi  sampai tingkat desa ada Tap MPR No IV tahun 2000.

Dalam Tap IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi  Kebijakan Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah dalam Rekomendasi nomor 7 menyebutkan :

“Sejalan dengan semangat desentralisasi, demokrasi, dan kesetaraan hubungan pusat dan daerah diperlukan upaya perintisan awal untuk melakukan revisi yang bersifat mendasar terhadap Undang-undang  Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undangundang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbagan Keuangan antar Pemerintah Pusat dan Daerah. Revisi dimaksud dilakukan sebagai upaya penyesuaian terhadap Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945, termasuk pemberian otonomi bertingkat terhadap propinsi,  kabupaten/kota, desa/nagari/marga, dan sebagainya”.

Jadi tidak benar bila tidak ada “cantolan” konstitusi untuk memberdayakan dan atau mengatur otonomi sampai tingkat desa. Dan oleh karenanya sangatlah layak dan menjadi sebuah keharusan konstitusi, bahwa UU Desa kedepan harus merupakan penjelasan tentang otonomi tingkat III, bukan sekedar menjadikan desa sebagai local-self community, atau pelaksana tugas pelayanan semata.

Desa sebagai daerah otonom tingkat III akan mempersulit dan memperumit otonomi daerah..?

Sebenarnya sejauhmana kerumitan yang sebenarnya terjadi, ketika dalam proses pembangunan nasional kita mengnal musrenbang (Musyawarah Perencanaan Pembangunan) mulai dari desa / kelurahan hingga tingkat Nasional.

Musrenbang, identik dengan diksusi di masyarakat / kelurahan tentang kebutuhan pembangunan daerah.  Musrenbang merupakan agenda tahunan di mana warga saling bertemu mendiskusikan masalah yang mereka hadapi dan memutuskan prioritas pembangunan jangka pendek. Ketika prioritas telah tersusun, kemudian di usulkan kepada pemerintah di level yang lebih tinggi, dan melalui badan perencanaan daerah (BAPPEDA) Kabupaten / Kota, Propinsi hingga BAPPENAS.

Ketika pemerintah berpikir otonomi tingkat III mempersulit dan memperumit otonomi daerah, maka dapat diartikan proses musrenbang yang dilakukan hanya program penghamburan anggaran oleh pemerintah, karena esensinya musyawarah dari tingkat desa/kelurahan dan kecamatan bukanlah hal yang perlu dilakukan.

 

Desa sangat beragam, tidak bisa disusun dalam sebuah format yang seragam…?

Dalam hal pemerintah menyampaikan tidak diperlukan adanya format yang seragam tentang desa, mengapa harus disusun UU Desa. Ini adalah bentuk ini konsistensi dasar berpikir  pemerintah dalam hal ini Menteri Dalam Negeri atau Presiden.

Menjadi sebuah Ambivalensi ketika dalam semangat mengakui keragaman desa  dan membuka ruang bagi daerah kabupaten/kota untuk mengatur hal-hal tentang desa-desa di wilayahnya berdasarkan asal usul, adat istiadat dan nilai-nilai sosial budaya masyarakat setempat dan sekedar menjadikan desa sebagai local-self community, tetapi mengatur dan menata Desa demikian detail dalam sebuah UU Desa.

Akan menjadi lebih baik bila RUU Desa dalam pengaturan desa tidak sangat detail sehingga benar benar mampu memberikan ruang untuk Kabupaten Kota atau Propinsi sebagai kepanjangan pemerintah Pusat untuk membuat perda tentang Desa yang benar benar mendasar pada asal usul, adat istiadat dan nilai nilai sosial budaya masyarkat setempat / lokal. Atau bahkan tidak perlu ada UU Desa, cukup UU Pemerintah Daerah yang didalamnya mengatur Desa.

 

 

 

 

 

 

Desa  pemerintahan komunitas  dengan self governing community….?

Pemahaman tentang Self Govermening Community  adalah pengelolaan tata kelola pemerintah yang dilakukan oleh komunitas.  Ciri Self Govermening Community   adalah :

  1. Komunitas mempunyai inisiatif untuk menyelenggarakan urusan-urusan bersama secara sukarela
  2. Pengambilan keputusan atas urusan bersama itu dilakukan oleh komunitas
  3. Keputusan itu mengikat warga anggota komunitas
  4. Penyelenggaraan urusan bersama itu dilakukan oleh komunitas

Dan dari pemahaman tersebut, maka apabila pemerintah dan DPR sepakat menjadikan desa dikelola dalam Self Govermening Community, ada beberapa hal yang perlu diicermati :

  1. UU Desa tidak perlu mengatur  Tugas, Wewenang, Hak, Kewajiban dan Larangan Kepala Desa cukup mengatur tentang wewenang, hak dan kewajiban pemerintah komunitas desa
  2. UU Desa tidak menempatkan PNS dalam struktur pemerintah komunitas desa.
  3. UU Desa tidak perlu mengatur masa jabatan dan periodisasi kepala desa, biarkan pemerintah komunitas desa yang mengatur berdasarkan kesepakatan komunitasnya.
  4. UU Desa tidak perlu mengatur struktur dan pengelompokan perangkat desa, biarkan pemerintah komunitas desa mengatur kebutuhan perangkat desanya.
  5. UU Desa tidak perlu mengatur lembaga lembaga desa, cukup memberikan hak pemerintah komunitas desa untuk membentuk lembaga desa sesuai kebutuhan komunitasnya.
  6. UU Desa tidak perlu mengatur alokasi dana untuk Desa, karena desa memiliki hak untuk mengatur dan mengelolaan SDA yang dimilki untuk keperluan komunitasnya.

UU Desa jangan jadi alat pengendalian, penjajahan  dan penghisapan desa untuk Negara.

Dalam hal pengaturan yang tidak jelas dasar dan semangatnya, maka sangat mungkin Negara sedang berusaha menguasai desa dengan segenap sumberdaya yang dimilikinya. Pengaturan yang detail tentang pemerintah desa, sementara mendasar pada  semangat  Self Govermening Community pada saat diminta tanggungjawab mensejahterakan, jelas sebuah tanda perusakan dan pelemahan desa.

Jangan sampai UU Desa akhirnya hanya akan menumbuh suburkan

  1. Tuan tanah / investor karena desa tidak mempunyai hak agraria atas pengaturan penggunaan tanah yang ada dlam wilayahnya
  2. Birokrasi Desa yang korup dan kaptalistik karena memberikan kekuasaan yang besar kepada kepala desa tanpa kekuatan pengawasan masyarakat. Beberapa hak kekuatan kepala desa dalam RUU Desa adalah :
  3. Kepala desa mempunyai tugas, hak dan wewenang  menyelenggarakan urusan pemerintahan,pembangunan dan kemasyarakatan tanpa adanya lembaga masyarkat yang memiliki fungsi kontrol
  4. Kepala desa mempunyai hak menjadi hakim perdamaian desa  dan keputusan bersifat final dan mengikat bagi pihak-pihak terkait.
  5. BPD berkedudukan sebagai lembaga permusyawaratan dan permufakatan bukan sebagai lembaga kontrol pelaksanaan pemerintah desa.

Mari kita cermati dengan seksama RUU Desa dan proses pembahasannya, jangan sampai UU Desa menjadi bagian dari UU yang dibuat atas pesanan pihak lain. Ingat kata MS Ka’ban bahwa ada 141 UU yang dibuat pasca reformasi adalah UU pesanan dari pihak asing untuk menguasai dan merugikan bangsa dan Negara Indonesia.

Bekerja Sama Untuk Desa


Ivanovich Agusta  ;  Sosiolog Pedesaan IPB Bogor

KOMPAS, 07 Februari 2015

PERATURAN Presiden Nomor 11 Tahun 2015 tentang Kementerian Dalam Negeri dan Perpres No 12 Tahun 2015 tentang Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi ternyata lebih dimaknai sebagai perbedaan sekaligus perebutan kewenangan atas desa. Padahal, yang mendesak justru kolaborasi segenap kementerian demi desa.

Modusnya, berupa penerbitan aturan pada tingkat menteri yang berdiri sendiri sembari mencakup wewenang kementerian lain. Surat Edaran Menteri Desa PDTT tentang penggunaan dana desa bersinggungan dengan pembinaan keuangan desa oleh Kemendagri. Sebaliknya Peraturan Menteri Dalam Negeri No 114/2014 tentang pembangunan desa lebih cocok diterbitkan bersama Kemendesa PDTT.

Prioritas kedua

Beragam kalangan boleh meromantisasi merekahnya desa seirama penetapan UU No 6/2014 tentang desa, tetapi realitasnya Presiden Jokowi berkonsentrasi pada pangan, energi dan infrastruktur (Kompas, 30 Januari 2015). Tambahan celah fiskal hingga Rp 230 triliun untuk 2015 saja mengindikasikan peluang terciptanya kesejahteraan rakyat melalui terobosan tiga sektor.

Saat pembangunan sektoral dioperasikan, wilayah desa dan kawasan kerja sama antardesa menjadi lokasi proyek dan kemunculan dampaknya hingga jangka panjang. Menduduki prioritas kedua, dalam dua tahun desa perlu bersiap diri menerima proses besar pelaksanaan sektor-sektor utama. Pada mulai tahun ketiga desa ganti mengantisipasi peningkatan kesejahteraan warganya.

Sesuai mandat UU No 6/2014 Pasal 79 dan 83 serta Perpres No 11/2015 Pasal 22, Kemendagri menyiapkan kapasitas pemerintahan desa untuk memadukan pembangunan sektoral dengan kebutuhan desa. Adapun Kemendesa PDTT memberdayakan warga desa hingga mampu mengapitalisasi manfaat pembangunan menjadi kesejahteraan rumah tangga sesuai dengan mandat UU No 6/2014 Pasal 78 dan 80 serta Perpres No 12/2015 Pasal 10 dan 13.

Kerja sama maksimal

Duo Perpres No 11/2015 dan Perpres No 12/2015 sangat mirip usulan akhir Oktober 2014 dari Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (kini Direktorat Jenderal Bina Pemerintahan Desa). Membanding dengan konsep dalam UU No 6/2014 tentang desa, Kemendagri mengelola penataan dan pembinaan pemerintahan desa.

Mandat UU No 6/2014 Pasal 1-77, 79-93, 96-115 dioperasionalkan dalam Perpres No 11/2015 sebagai wewenang pada pengelolaan keuangan dan aset desa. Wewenang berikutnya fasilitasi penataan desa, pemilihan kepala desa, perangkat desa, dan pelaksanaan           penugasan urusan pemerintahan. Berikutnya wewenang penyelenggaraan administrasi pemerintahan desa. produk hukum desa, serta evaluasi perkembangan desa. Wewenang selanjutnya pada kelembagaan desa, dan kerja sama pemerintahan.

Kemendesa PDTT mendapatkan mandat UU No 6/2014 Pasal 1-4, 78-95, 112-115 untuk pembangunan desa dan pemberdayaan masyarakat. Operasionalisasi dalam Perpres No 12/2015 berupa kewenangan pemberdayaan masyarakat desa dan pengelolaan pelayanan sosial dasar. Selanjutnya wewenang pengembangan usaha ekonomi desa, pendayagunaan sumber daya alam dan teknologi tepat guna, dan pembangunan sarana prasarana desa. Wewenang yang berkaitan dengan pembangunan kawasan pedesaan mencakup perencanaan pembangunan, sarana/prasarana, dan ekonomi kawasan.

Perpres No 11/2015 condong berkenaan dengan pemerintahan desa atau meliputi adagium dikotomis yang muncul pada UU No 6/2014: (pemerintah) ”membangun desa”. Sebaliknya Perpres No 12/2015 mengetengahkan warga desa melalui adagium (warga) ”desa membangun”.

Dikotomi tersebut perlu dilebur dalam praksis. UU No 6/2014 sendiri secara inheren mensyaratkan kerja sama kedua kementerian, terutama berkaitan dengan kehadiran pemerintah desa dan warga dalam musyawarah desa untuk perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pembangunan (Pasal 79-82). Badan Usaha Milik Desa dimiliki pemerintah desa, tetapi dijalankan oleh warga desa terpilih (Pasal 87-90). Perwujudan kawasan sebagai bentuk kerja sama antarbeberapa pemerintah desa dan pihak lain memerlukan persetujuan warga lewat musyawarah desa (Pasal 83-85).

Memandang desa sebagai komunitas selalu menautkan pemerintah dan warganya. Memang UU No 6/2014 dikritik meluaskan wewenang pemerintah desa sembari alpa menuliskan pasal pemberdayaan masyarakat. Namun, PP No 43/2014 tentang desa telah panjang lebar mengoperasionalkan pemberdayaan menjadi pendampingan warga.

Oleh sebab itu, alih-alih menerbitkan peraturan dan edaran menteri yang cenderung sepihak, menegaskan diri, bahkan acap kali saling merenggut wewenang kementerian lainnya, akan lebih produktif bagi kedua kementerian untuk lebih banyak menerbitkan peraturan bersama antarmenteri. Kerja sama kedua kementerian telah mendesak guna memulai pembangunan desa. Kesepakatan keduanya dibutuhkan untuk menetapkan kegiatan pembangunan bersama Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan perencanaan pendanaan dengan Kementerian Keuangan.

Soliditas keduanya mutlak untuk berhubungan dengan Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Desa di provinsi dan kabupaten/kota. Yang lebih penting, kedua kementerian harus selalu duduk bersama kementerian lain yang mengalokasikan kegiatan di tingkat desa. Di antaranya prioritas jangka menengah untuk pembangunan kilang minyak dan gas bumi, bendungan hingga saluran irigasi, pelabuhan, jalur kereta api, jalan besar berikut percabangannya ke desa.

Jangan dilewatkan pertanyaan penting lain: bagaimana pengelolaan kelurahan? Berbagai UU dan aturan di atas alpa membahasnya. Padahal, statistika kelurahan menunjukkan pelemahan layanan dari fasilitas ekonomi, pendidikan dasar dan kesehatan dalam satu dekade terakhir. ●

UU Desa dan Kemiskinan


Khudori   ;   Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat (2010-2014)

REPUBLIKA,  30 Desember 2013

Mengakhiri tahun 2013, pemerintah dan DPR membuat keputusan penting.

Setelah tertunda-tunda dalam beberapa kali masa sidang, pekan lalu RUU Desa disahkan menjadi UU. Lewat produk hukum baru tersebut, desa bisa berdiri otonom, sama dengan provinsi, kabupaten atau kota, dalam menentukan arah pembangunan. Dengan otonomi itu, desa bisa membangun otonomi berbasis “otonomi asli desa” yang berbasis nilai dan identitas lokal.

Harus diakui, derap pembangunan selama beberapa dekade hanya menempatkan desa sebagai subjek. Akibatnya, desa tidak hanya berada di pinggir, tapi juga diletakan jauh di belakang. Selama puluhan tahun pendekatan pembangunan desa dicirikan tiga hal (Sudjito, 2013).

Pertama, tak ada kejelasan kewenangan desa sebagai pengakuan negara atas desa. Sejak UU No 5/979 tentang Pemerintahan Desa berlaku, tak ada pengakuan kewenangan, baik secara politik maupun sosial-ekonomi. Pengaturan desa diseragamkan bermodel “Jawa” agar negara mudah mengontrol desa. Dampaknya, desa termarjinalisasi dalam arus kebijakan.

Pada era reformasi ada upaya memperkuat desa lewat UU No 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah. Aturan itu memberi pesan penguatan desa bertumpu pada hak asal-usul. Tapi, hal ini tak berlangsung lama.

Ketidakpastian politik menandai terbitnya UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah yang bercorak resentralisasi. Desa kembali hanya menjadi objek, tersubordinasi pemerintah kabupaten/kota, bahkan terkooptasi pemerintahan di atasnya. Ini semua cermin kemunduran paling nyata posisi politik desa di era reformasi.

Kedua, dengan pendekatan “Jawanisasi”, kemajemukan desa tidak diakui, bahkan dinihilkan. Padahal, format, struktur, dan pola desa di Indonesia be – gitu beragam. Keunikan desa atau nama lainnya mencerminkan sumber daya lokal yang dimaknai sebagai kekayaan khas bangsa. Tak mungkin variasi dimatikan lewat penyeragaman.

Ketiga, lantaran kooptasi desa tidak berperan dalam perencanaan, penganggaran pembangunan dan redistribusi sumber daya. Pembangunan menempatkan desa sebagai objek lewat model “pembangunan di desa”, desa hanya jadi lokasi. Bukan “desa membangun” yang mensyaratkan desa sebagai subjek.

Tiga paradigma pembangunan desa itu tidak lagi ada dalam UU Desa. Tidak hanya keberagaman yang diakui, desa juga diberi kewenangan (politik) besar dalam perencanaan, penganggaran pembangunan, dan redistribusi sumber daya. Secara ekonomi, UU Desa memuat kewajiban penting terkait penganggaran. Pasal 72 menyebut, dana alokasi desa berasal dari APBN diambil sebesar 10 persen dari dana on top (dana dari dan untuk transfer daerah). Dalam APBN 2014 dana transfer daerah mencapai Rp 590,2 triliun.

Jadi, alokasi anggaran desa Rp 59,02 triliun. Sebanyak 72 ribu desa akan menerima aliran dana Rp 0,7 miliar hingga Rp 1,4 miliar, tergantung jumlah penduduk, angka kemiskinan, kesulitan geografis, dan luas wilayah.

Terlepas dari pro-kontra, adanya alokasi anggaran khusus ke desa membawa angin segar pembangunan di perdesaan. Pembangunan yang bias perkotaan membuat desa kering anggaran, bahkan terjadi pengurasan modal (finansial dan sumber daya) desa oleh kota. Almarhum Mubyarto dalam pelbagai penelitiannya menemukan, tabungan warga desa di perbankan yang mengalir kembali ke desa tak lebih dari 25 persen. Sisanya mengalir ke kota. Desa identik dengan kemiskinan dan kegureman.

Selama puluhan tahun pembangunan gagal mengatasi kesenjangan kota-desa, menyebarkan penduduk ke wilayah lain di luar Jawa dan luar Jabodetabek, serta meratakan pembangunan ekonomi dan kesejahteraan. Pembangunan tak berdaya mengatasi urbanisasi masif. Ini terjadi lantaran ketakmampuan kita membangun ekonomi perdesaan, yang telah menciptakan kesenjangan kota-desa, keterbelakangan desa, dan marjinalisasi ekonomi perdesaan. Konsep yang kita kenal selama ini tentang urban-rural linkages tidak berjalan karena kenyataannya kota makin perkasa, sedangkan desa justru makin merana.

Daerah perkotaan yang didominasi oleh kegiatan ekonomi modern, seperti sektor industri pengolahan, perdagangan, komunikasi, properti, dan jasa keuangan serta perbankan mengalami pertumbuhan yang jauh lebih cepat daripada daerah perdesaan yang didominasi kegiatan ekonomi tradisional, seperti sektor pertanian dan pertambangan-penggalian. Sejak 2008, pertumbuhan sektor pertanian tak lebih dari setengah pertumbuhan nasional. Padahal, sektor ini menampung 43 persen dari total tenaga kerja yang ada. Kontribusi sektor pertanian pada PDB nasional yang terus menurun, tinggal sekitar 14 persen, membuat kemiskinan menumpuk.

Sejak dahulu kala, kemiskinan terkonsentrasi di perdesaan. Pada 1976, jumlah penduduk miskin di perdesaan 44,2 juta orang atau 81,5 persen dari total penduduk miskin. Lebih 35 tahun kemudian, angka ini hanya mengalami sedikit perbaikan. Per September 2012, warga miskin berjumlah 28,594 juta (11,66 persen).

Secara agregat, kemiskinan menurun. Namun, persentase orang miskin di perdesaan tetap tinggi: 63,4 persen (18,48 juta) dari jumlah warga miskin. Ini fakta getir karena pembangunan justru meminggirkan warga perdesaan. Data ini menunjukkan, puluhan tahun pembangunan ternyata kemiskinan tak beranjak jauh dari desa.

UU Desa memberi harapan baru. Ada harapan besar, transfer anggaran ke desa akan membuat wajah desa berubah: dari miskin menjadi lebih menggairahkan. Ada sejumlah peluang (usaha, pembukaan tenaga kerja baru dan yang lain) yang akan tercipta seiring mengalirnya anggaran ke desa. Ada peluang harapan baru ini akan diiringi mengalirnya lulusan pendidikan tinggi ke desa. Lewat tangan-tangan mereka, kemiskinan, kegureman, dan pelbagai keterbelakangan desa dikikis. Tentu itu semua mensyaratkan kelembagaan yang mumpuni, pengawasan dan kontrol ketat agar dana desa tak dikorupsi.

Setahun UU Desa


Robert Endi Jaweng   ;   Direktur Eksekutif KPPOD, Jakarta

KOMPAS, 14 Februari 2015

Setahun silam, Januari 2014, Presiden Yudhoyono yang saat itu masih dalam jabatan mengesahkan UU No 6/2014 tentang Desa. Segala polemik dan aksi massa yang kerap memanasi proses pembahasan di parlemen sekejap sirna. Beleid baru itu dinilai meletakkan dasar-dasar perubahan bagi terwujudnya desa mandiri, sejahtera, demokratis.

Tak terelakkan, lahir bertepatan dengan momentum ”tahun politik” membuat UU ini menjadi komoditas bernilai jual tinggi di tangan para elite, calon anggota legislatif dan calon presiden di berbagai panggung kampanye. Desa jadi rebutan, klaim berjasa melahirkan UU tak malu-malu diumbar. Celakanya, rebutan itu tak lantas reda seiring dengan kelarnya pemilu. Desa terus dikapitalisasi sebagai arena menanam pengaruh jangka panjang. Sesudah pemerintahan baru tersusun, antar-menteri/kementerian dan partai di belakangnya aktif bermanuver merebut ceruk untuk ikut terlibat mengurus desa.

Kental kepentingan politik

Pada saat bersamaan, kerja-kerja persiapan implementasi tak bergerak dalam kekuatan penuh. Sebagian memang tersedia tepat waktu, seperti PP No 43/2014 (Peraturan Pelaksana UU Desa) dan PP No 60/2014 (Dana Desa yang Bersumber dari APBN). Namun, sebagian kebutuhan utama lainnya, terutama kerangka besar berupa peta jalan, regulasi turunan, instrumentasi kebijakan, serta persiapan operasional, belum sepenuhnya siap memulai fase pelaksanaan yang optimal. Setahun kurun transisi, jargon ”revolusi desa” lebih banyak menjadi riuh dalam berita dan wacana politik, tetapi sering senyap dalam aksi nyata di lapangan.

Pertama, sulit dinafikan, pergantian pemerintahan/kepemimpinan nasional memengaruhi teknis peralihan dan lanjutan persiapan. Namun, mestinya masa penyesuaian bagi pemerintahan baru tak memerlukan waktu lama lantaran birokrasi yang menjadi tulang punggung kerja tetap sama. Lebih utama lagi, toh pemerintahan Joko Widodo tak datang dengan program yang berpunggungan dari rezim sebelumnya. Ia bahkan menampakkan aksentuasi lebih tegas: ”membangun Indonesia dari pinggir dengan memperkuat daerah dan desa” sebagai prioritas dalam Nawa Cita.

Tantangan persis terletak pada terjemahannya. Tanpa kapasitas manajemen politik kuat dalam mengelola semangat perubahan, desa lebih banyak dihitung sesuai kepentingan politik partai dan politik birokrasi. Alotnya ”rebutan desa” antara Kementerian Dalam Negeri dengan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi belum lama ini adalah hasil perpaduan kehendak membangun kaki politik partai dan jangkauan tangan birokrasi hingga basis desa yang jadi justifikasi penetrasi program.

Di sini konsistensi Presiden diuji: mempertahankan prinsip pengelolaan desa secara sistematik-integratif (sejalan semangat UU No 6/2014) atau berkompromi dalam jebakan formula ”berbagi kerja” yang jelas-jelas fragmentatif. Perpres No 11/2015 tentang Kementerian Dalam Negeri serta Perpres No 12/2015 tentang Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi menunjukkan pilihan jawaban Presiden atas ujian itu: sesaat mereda polemik, tetapi mempertaruhkan efektivitas tata kelola kebijakan dan implementasi dalam jangka panjang.

Kedua, logika uang (dana desa/DD) bisa membuat elemen-elemen lain hanya sebagai faktor pendukung. Bahkan, dalam hal kecil terkait waktu, banyak pihak menarik April 2015 sebagai garis awal implementasi UU Desa lantaran saat itu DD dikucurkan pertama kali. Orientasi uang semacam ini, selain berbahaya lantaran rentan jadi incaran kepentingan politik dan perburuan rente, juga membawa implikasi teknokratik yang rumit. Terlebih jika melihat rencana pertambahan DD yang fantastis lima tahun ke depan: sekitar Rp 19 triliun (RAPBN-P 2015), Rp 44 triliun (2016), Rp 74 triliun (2017), Rp 88,6 triliun (2018), Rp 103,7 triliun (2019).

Tanpa dana cukup, perwujudan ”desa mandiri, sejahtera, dan demokratis” memang bisa terancam kandas. Namun, dalam kerangka ”desa membangun” dan ”membangun desa” yang telah jadi pilihan teori perubahan dalam UU ini, uang tak boleh lepas dari prinsip rekognisi negara dan keberdayaan warga dalam pembangunan. Kita tentu wajib cemas dengan kesiapan minimal berkenaan kapasitas tata kelola dan sistem pengawasan yang mengancam uang terkelola secara akuntabel dan efektif, tetapi jauh lebih cemas lagi kalau demi mencapai target tersebut menjauhkan rakyat dari ruang pembelajaran dan pemberdayaan sebagai subyek ”desa membangun”. Jebakan uang berpotensi menggiring agenda perubahan ke pilihan rute jalan pintas proyek ”membangun desa” dalam alur top-down, birokratik dan anti deliberasi dari entitas supradesa ataupun pemerintahan desa itu sendiri. Setahun ini, rakyat nyaris hilang dalam euforia politik dan teknokrasi desa versi elite dan pekerja pembangunan.

Ketiga, sikap pasif bahkan resistensi pemda (kabupaten/kota) turut jadi faktor negatif signifikan dalam fase persiapan. Terhitung 11 bulan pertama lahirnya UU Desa, banyak pemda menunjukkan penolakan dengan cara tidak mengambil inisiatif bermakna. Perubahan sikap baru tampak sebulan belakangan ketika skema ”kesatuan administratif pemerintahan” diadopsi dalam Perpres No 11/2014 sehingga kabupaten/kota yang tadinya ditakutkan jadi the missing-linkdalam susunan pemerintahan dan konstruksi perwilayahan kini kembali rekat. Puluhan tahun desa jadi alas kaki kekuasaan dan subordinat administrasi pemda, perubahan struktural yang diusung UU No 6/2014 membuat sebagian penguasa lokal tersebut seolah gegar budaya.

Tidak heran, hingga hari ini kita jarang mendengar persiapan mereka berkenaan alokasi dana desa (ADD) dan bagi hasil pajak/retribusi daerah (PDRD) dalam APBD. Padahal, nominal ADD agregat nasional sesungguhnya jauh lebih besar daripada DD: 2015 ini diperkirakan berjumlah Rp 33,4 triliun plus PDRD Rp 2,1 triliun. Lebih jauh, beralasan tak ada regulasi/petunjuk pusat, pemda tak tampak serius menyosialisasi/mentransfer pengetahuan soal kebijakan baru tersebut, apalagi memfasilitasi program penguatan kapasitas aparat desa dalam kerangka tata kelola pemerintahan modern (anggaran, administrasi, dll), padahal desa (apalagi desa adat) sebagai street level bureaucracy yang selama ini memang kurang familiar.

Catatan akhir

Jargon revolusi desa terbilang jauh lebih kompleks dibandingkan kebijakan otonomi daerah yang pada masa permulaan butuh masa transisi hampir dua tahun (1999-2001) kini masuk fase pembuktian awal. Kita tahu, secara substansi ataupun kerangka persiapan, yang ada di atas meja hari ini bukanlah capaian terbaik dan optimal sesuai mandat UU No 6/2014.

Dengan pilihan skema ”berbagi kerja” mengurus desa, Presiden perlu lebih asertif memimpin perubahan agar antarkementerian dan antar-rezim kerja (rezim keuangan, rezim sektoral, rezim administrasi) tak lagi justru ”berebut peran”. Simpul koordinasi kebijakan yang berada di Kemenko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan serta Kemenko Politik, Hukum, dan Keamanan mesti lebih gesit membangun kerja sama lintas instansi/ portofolio terkait, menghindari blunder. Paket permendagri yang terbit belum lama ini, khususnya permendagri terkait pedoman pembangunan, contoh masih belum jelasnya terjemahan skema ”berbagi kerja” lantaran masuk ke domain urusan Kementerian Desa, PDT, dan Transmigrasi.

Pada akhirnya, semua desain kebijakan dan persiapan implementasi di level nasional dan daerah akan diuji di laboratorium desa itu sendiri. Fokus perhatian lanjut mesti bergeser ke 74.045 desa yang beragam karakter dan tingkat perkembangannya. Sudah setahun ini kita seolah memunggungi desa, bahkan mengeksploitasinya, dan Jakarta sibuk sendiri berebut peran. Kini saatnya haluan diputar drastis dan bekerja dari dalam desa itu sendiri.

Membangun dari Pinggiran dan Desa


Mudrajad Kuncoro  ;   Guru Besar Ilmu Ekonomi FEB UGM

KOMPAS, 09 Februari 2015

Dua warisan pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono setelah 10 tahun berkuasa adalah menurunnya kemiskinan, tetapi diikuti dengan ketimpangan yang cenderung meningkat. Pertanyaannya, mengapa selama 10 tahun terakhir kemiskinan Indonesia hanya berkurang 5,7 persen, padahal dana APBN dan APBD untuk mengurangi kemiskinan telah digelontorkan hingga ratusan triliun rupiah? Bagaimana pemerintah Joko Widodo membalik arah pembangunan yang terkonsentrasi secara geografis di Jawa-Sumatera dan perkotaan menjadi membangun dari pinggiran dan desa?

Data BPS, Januari 2015, menunjukkan tingkat kemiskinan turun dari 16,66 persen di awal SBY memerintah (2004) menjadi 14,15 persen di akhir era Kabinet Indonesia Bersatu I (2009), bahkan 10,96 persen pada September 2014 dengan jumlah penduduk miskin masih 27,73 juta orang. Angka terakhir ini hanya berkurang 0,87 juta orang dibandingkan dengan September 2013 yang 28,6 juta orang (11,46 persen). Rekor kemiskinan ini paling rendah, baik besaran maupun persentasenya, sejak 1970. Namun, penurunan kemiskinan masih di bawah target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan terjadi pelambatan penurunan kemiskinan di akhir era SBY.

Mencermati fakta ini, tantangan utama pemerintah Jokowi adalah bagaimana menurunkan ketimpangan pendapatan antardaerah dan antargolongan pendapatan yang cenderung meningkat (lihat Mudrajad Kuncoro, ”Mengurangi Ketimpangan”, Kompas, 2/3/2013), dan kemiskinan yang masih substansial? Dalam dokumen resmi Kabinet Kerja yang tertuang dalam RPJMN 2015-2019, Jokowi-JK menetapkan sasaran nasional hingga 2019: (1) pertumbuhan ekonomi 5,8-8 persen; (2) kemiskinan menjadi 8-10,5 persen; (3) pengangguran turun menjadi 7-8 persen; (4) indeks gini turun dari 0,41 ke 0,36.

”Pinggiran” Indonesia

Secara spasial, setidaknya ada dua pola kemiskinan yang mencolok di Indonesia. Pertama, kemiskinan di daerah perdesaan selalu lebih tinggi daripada perkotaan. Selama 2004-2014, persentase penduduk miskin di perdesaan berkisar 14-20 persen, sementara di perkotaan 8-14 persen. Kedua, kantong kemiskinan terkonsentrasi di kawasan timur Indonesia (KTI), pantai selatan Jawa, dan pantai barat Sumatera. Dari data Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (KDPD2T), masih ada 183 kabupaten tergolong tertinggal pada 2015, dengan 70 persen ada di KTI. Jumlah ini terdiri dari 149 kabupaten yang masih berstatus daerah tertinggal selama 2004-2009 dan 34 daerah kabupaten baru hasil pemekaran.

Penyebab utama suatu kabupaten tergolong daerah tertinggal: (1) letak geografis terpencil dan sulit dijangkau, (2) kondisi infrastruktur sosial ekonomi kurang memadai, (3) kegiatan investasi dan produksi masih minim, (4) berada di kawasan perbatasan antarnegara. Inilah asal muasal mengapa daerah tertinggal di Indonesia dicap sebagai daerah ”pinggiran” karena berada di kawasan perbatasan, sulit dijangkau, bahkan terisolasi secara ekonomi, tingkat kesejahteraannya relatif rendah, dan memiliki infrastruktur seadanya.

Akibatnya, hingga akhir 2014, struktur perekonomian Indonesia secara spasial masih didominasi kelompok provinsi dan kabupaten/kota di Jawa yang memberikan kontribusi terhadap PDB Indonesia sekitar 58,51 persen, diikuti Sumatera sekitar 23,63 persen. KTI, sebagai kawasan pinggiran, hanya sekitar 17,96 persen. Singkatnya, pola pembangunan yang timpang masih terus terjadi, tecermin dari kuatnya ”pusat” (Jawa-Sumatera) sebagai gravitasi pembangunan dan menyisakan ”pinggiran” (KTI dan desa).

Untuk mengurangi ketimpangan dan mewujudkan kesejahteraan masyarakat yang lebih merata, Jokowi-JK memberi mandat kepada KDPD2T, yang disebut Nawakerja Prioritas. Menteri KDPD2T Marwan Jafar menjabarkan, Nawakerja Prioritas meliputi sembilan program jangka pendek unggulan yang harus segera diimplementasikan: (1) peluncuran ”Gerakan Desa Mandiri” di 5.000 desa, (2) pendampingan dan penguatan kapasitas kelembagaan dan aparatur di 5.000 desa, (3) pembentukan dan pengembangan 5.000 badan usaha milik desa, (4) revitalisasi pasar desa di 5.000 desa/kawasan perdesaan, (5) pembangunan infrastruktur jalan pendukung pengembangan produk unggulan di 5.000 Desa Mandiri.

Kemudian, (6) penyiapan implementasi penyaluran dana desa Rp 1,4 miliar per desa secara bertahap, (7) penyaluran modal bagi koperasi/UMKM di 5.000 desa, (8) proyek percontohan pelayanan publik jaringan koneksi online di 5.000 desa, (9) save villages di daerah perbatasan dan pulau-pulau terdepan, terluar, dan terpencil. Tujuan besar dari sembilan program ini adalah mewujudkan desa mandiri, membangun infrastruktur yang menunjang perekonomian desa, menyalurkan modal untuk koperasi, meluncurkan sistem pelayanan publik online, dan menjaga desa-desa di wilayah perbatasan.

Langkah strategis

Pembangunan desa dan pengentasan daerah tertinggal tentu bukan suatu hal yang dapat diselesaikan dalam waktu singkat. Jelas ini bukan tugas KDPD2T saja. Kabinet Kerja Jokowi perlu melaksanakan UU Desa No 6/2014 secara sistematis dan berkelanjutan melalui koordinasi, fasilitasi, supervisi, dan pendampingan kepada pemerintah desa, lembaga desa, dan rakyat desa, dengan beberapa langkah strategis dan ”revolusioner”.

Pertama, perlu konsolidasi satuan kerja lintas kementerian/ lembaga untuk memastikan berbagai perangkat peraturan pelaksanaan UU Desa sejalan dengan substansi, jiwa, dan semangat UU Desa. Termasuk, penyusunan sejumlah peraturan pemerintah, yang diperlukan agar distribusi dan alokasi dana desa berjalan efektif, tak bocor (dikorupsi), dan bertahap. Mayoritas dana ini harus diprioritaskan untuk pemberdayaan rakyat, usaha ekonomi desa, pasar, penguatan modal bagi UKM dan koperasi, pembangunan jalan/jembatan, serta penguatan BUMDES.

Kedua, menyelesaikan secepatnya masalah ”perebutan wewenang” antara KDPD2T dan Kementerian Dalam Negeri dalam menangani desa. Tumpang tindih ini terjadi setelah Presiden Jokowi mengumumkan nomenklatur baru Kementerian Desa, yang sebelumnya pengelolaan dana desa memang dilakukan Kemendagri. Dalam RAPBN-P 2015, pemerintah menambah alokasi anggaran desa dari Rp 9 triliun menjadi Rp 20 triliun sehingga setiap desa akan memperoleh anggaran Rp 750 juta untuk satu tahun anggaran. Rakyat sebenarnya tak kaget jika Mendagri Tjahjo Kumolo (PDI-P) dan Menteri Desa Marwan Jafar (PKB) terkesan ”berebut dana desa”. Keberhasilan membangun desa agaknya merupakan agenda politik kedua partai untuk Pemilu 2019. Nuansa politiknya dinilai kental, bahkan dikhawatirkan akan berpengaruh terhadap implementasi pembangunan desa dan penyaluran dana desa. Presiden Jokowi, didampingi Wapres Jusuf Kalla, dikabarkan telah memimpin rapat terbatas kabinet guna membahas urusan desa beserta kelembagaan dan penganggarannya (13/1/2015). Jokowi perlu segera mengambil sikap tegas untuk mengakhiri konflik di antara kedua kementerian ini.

Ketiga, penanggulangan kemiskinan perlu dikombinasikan dengan pengembangan usaha ekonomi rakyat desa, termasuk di permukiman transmigrasi. Beberapa strategi diperlukan untuk memfasilitasi pengelolaan BUMDES, meningkatkan ketersediaan sarana prasarana produksi, khususnya benih, pupuk, pasca panen, pengolahan produk pertanian dan perikanan skala rumah tangga desa, pembinaan, maupun pendampingan dalam pengembangan usaha, bantuan permodalan, kesempatan berusaha, pemasaran dan kewirausahaan, serta meningkatkan kapasitas masyarakat desa dalam pemanfaatan teknologi tepat guna. Miskin terhadap akses modal merupakan masalah mendasar UKM di perdesaan. Selama ini, UKM dianggap tak layak dapat kredit perbankan (unbankable) karena ketiadaan dan atau kurangnya agunan. Untuk itu, perlu diperbanyak Perusahaan Penjaminan Kredit Daerah, seperti Jawa Timur dan Bali, yang menjamin risiko kredit yang diajukan UKM. Filosofi Grameen Bank, organisasi kredit mikro yang dimulai di Banglades dan diadopsi hampir 130 negara yang memberikan pinjaman kredit kepada orang kurang mampu tanpa agunan, layak diterapkan karena sistem ini berangkat dari ide bahwa orang miskin punya kemampuan yang kurang digunakan.

Penurunan tingkat kemiskinan di Indonesia tidak signifikan bisa jadi karena beberapa hal. Faktor yang dominan karena program kemiskinan terdistribusi di sejumlah kementerian dan dinas, jalan sendiri-sendiri, dan tidak terpadu. Ironisnya, kantong kemiskinan di tiap kabupaten/kota kurang tersentuh program anti kemiskinan. Pola ini disebut spaceless, tak memperhatikan di mana lokasi kaum duafa berada. Peta spasial kemiskinan diperlukan agar dana desa dan pemberantasan kemiskinan lebih terfokus.

Tantangan yang dihadapi pejabat dan pegiat anti kemiskinan tak mudah. Alasannya: (1) sebagian besar alokasi APBN/ APBD selama ini terserap untuk membiayai belanja pegawai, termasuk gaji, belanja barang yang ditujukan untuk menggerakkan ”mesin birokrasi daerah”. Tak banyak ruang untuk mengurangi angka kemiskinan dengan biaya dan rencana inisiatif daerah. (2) Program pemberantasan kemiskinan tak bisa dilepaskan dari program pemberantasan buta huruf, peningkatan akses air bersih, peningkatan akses kesehatan, dan penurunan angka anak balita kurang gizi. Untuk itu, perlu dirancang program anti kemiskinan yang lebih menyentuh akar masalah kemiskinan dan tak ”karitatif”. Kemudian, (3) permasalahan yang dihadapi adalah ketidakcocokan data rumah tangga miskin dengan kenyataan. Pihak kelurahan dan ketua RT jarang dilibatkan langsung dalam pendataan keluarga miskin. Kelemahan pendataan rakyat miskin adalah langsung dilakukan tim kemiskinan (gabungan beberapa instansi), tetapi hasilnya tidak diklarifikasikan dengan kelurahan sehingga banyak data tak valid.

Ketimpangan

Langkah strategis keempat, RPJMN 2015-2019 menggariskan pembangunan bukan hanya untuk kelompok tertentu, melainkan untuk seluruh masyarakat di seluruh wilayah. Pembangunan harus dapat memperkecil ketimpangan, baik antarkelompok pendapatan maupun antarwilayah, dengan prioritas wilayah desa (penduduk miskin sebagian besar tinggal di desa) dan wilayah pinggiran, khususnya luar Jawa-Sumatera atau KTI. Dalam konteks ini, menarik menyimak laporan tahunan Bank Dunia, ”World Development Report 2009: Reshaping Economic Geography”. Bank Dunia menganjurkan proses transformasi spasial di Asia Timur, termasuk Indonesia, dengan membangun 3D, yaitu: kepadatan (density), mengurangi jarak (distance), dan menghilangkan sekat atau ketimpangan (division), dalam upaya membuat pembangunan ekonomi menjadi lebih pesat dan inklusif.

Makin tinggi kepadatan penduduk justru mendorong pertumbuhan kota. Makin pendek jarak antarlokasi, makin cepat perusahaan dan tenaga kerja berpindah mendekati peluang ekonomi. Makin kecil sekat atau ketimpangan antardaerah, akan memperkecil hambatan masuk ke pasar global. Implikasinya bagi Indonesia, pengembangan ekonomi kawasan perdesaan, termasuk kawasan transmigrasi, perlu diintegrasikan dengan pengembangan perkotaan dan mendorong keterkaitan ekonomi desa-kota, pusat-pinggiran, kawasan timur Indonesia dan kawasan barat Indonesia. Sudah saatnya pemerintah Jokowi melanjutkan sisi positif Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia di era SBY, sekaligus menyusun peta jalan bagaimana mengintegrasikan program unggulan Nawa Cita (kedaulatan pangan, kedaulatan energi dan ketenagalistrikan, kemaritiman dan kelautan, serta pariwisata dan industri) dengan pengembangan wilayah (desa, kota, kawasan).

Kelima, koordinasi merupakan kata kunci yang mudah diucapkan, tetapi sering lemah dalam implementasi. Perang melawan kemiskinan dan ketimpangan sudah selayaknya jadi agenda prioritas pusat dan daerah. Kerja, kerja, kerja!

Desa, Problematika dan Agenda Masa Depan


Sofyan Sjaf

“pamanku dari desa……..dibawakannya rambutan, pisang…..dan sayur mayur segala rupa…………….”

Syair ciptaan AT. Mahmud yang sempat populer tahun 60-an dikalangan anak-anak ini mengingatkan kepada kita betapa kayanya potensi pertanian yang dimiliki desa.  Disisi lain, lagu tersebut juga menyiratkan kepada kita terdapatnya dikotomi desa dan kota atau dengan kata lain sebutan desa sering diidentikan “lawan” dari kota.  Di desa kita tidak akan menemukan plaza atau mall, seperti adanya di kota.  Kalaupun ada berarti ia tidak dapat disebut desa lagi.  Begitupun sebaliknya, di kota kita tidak akan menemukan hamparan sawah yang luas, udara yang segar,  semangat kegotong royongan dan musyawarah untuk mufakat serta ‘welas asih’ antar sesama warga masyarakat.

Akan tetapi, desa dapat saja berubah menjadi kota, dikarenakan desa tidak lain merupakan struktur atau bangunan dari kota itu sendiri.  Hamparan sawah yang luas, udara segar, kultur gotong royong dan mufakat serta welas asih sesama warga mungkin akan hilang seketika.  Kultur gotong royong dan mufakat digan-tikan dengan kultur individualistik, hamparan sawah digantikan dengan bangunan-bangunan pabrik yang berdiri ‘congkak’, udara yang tadinya segar menjadi asap hitam yang tidak ‘sedap’ dihirup lagi dan lain sebagainya.  Semua ini dikarenakan gelombang modernisasi dengan karakteristik kapitalismenya mampu masuk ke ‘jantung-jantung’ desa sehingga menyebabkan terjadinya perubahan desa secara struktural.

Begitupun sepanjang sejarah politik di Indonesia, dari zaman kolonial hing-ga kini, desa sebagai satuan komunitas seringkali dijadikan sebagai obyek eksploi-tasi para penguasa, elit politik, dan pemodal untuk mencapai tujuan-tujuannya[1].  Dengan ‘keluguannya’, orang desa legowo menerima pengekploitasian dari sang kapitalis, kalaupun mereka tidak setuju dengan pengeksploitasian tersebut, diam adalah perlawanan yang terbaik, seperti halnya perlawanan yang dilakukan oleh orang Samin[2].

Uraian di atas, merupakan bagian terkecil dari gambaran desa yang sesung-guhnya.  Untuk itu, sebelum memahami lebih jauh tentang desa, ada baiknya kita pahami apakah desa itu?  Bagaimana masa lalu desa di bawah eksploitasi pengua-sa dan antek-anteknya? Bagaimana perkembangan desa? Apa saja yang menjadi problematika desa hingga kini?  Dan agenda apa yang perlu dilakukan untuk masa depan desa?

Tulisan ini dimaksudkan tidak lain untuk menjawab pertanyaan di atas.  Un-tuk itu, penulis akan mencoba menguraikan batasan definisi desa dari berbagai tinjauan, sehingga dapat secara langsung terungkap berbagai problematika yang terjadi di desa dan mengetahui apa saja yang menjadi agenda fokus utama untuk masa depan desa di Indonesia.

Desa Dari Berbagai Tinjauan

Tabiat dari manusia dengan insting-nya adalah hidup bersama-sama.  Hidup bersama-sama ini tidak lain bertujuan untuk: hidup (mencari makan, pakaian dan perumahan); mempertahankan hidupnya terhadap ancaman dari luar; dan ketiga mencapai kemajuan dalam hidupnya.[3] Dari insting dan kesadarannya, manusia membentuk apa yang disebut desa.  Sebutan desa awalnya hanya dipakai di daerah Jawa, Madura dan Bali, sementara untuk daerah lain sebutan desa sangat beragam, seperti: dusun (Sumatera Selatan), dusundati (Maluku), pendukuhan (Batak) dan lain sebagainya.[4]

Secara umum, desa menurut Soetardjo Kartohadikoesoemo adalah suatu kesatuan hukum, dimana bertempat tinggal suatu masyarakat yang berkuasa me-ngadakan pemerintahan sendiri.  Lebih jauh, Kartohadikoesoemo menambahkan bahwa desa terjadi dari hanya satu tempat kediaman masyarakat saja, ataupun ter-jadi dari satu induk-desa dan beberapa tempat kediaman sebagian daripada masya-rakat hukum yang terpisah yang merupakan kesatuan-kesatuan tempat tinggal sendiri, kesatuan-kesatuan mana dinamakan pendukuhan, ampean, kampung, cantilan, beserta tanah pertanian, tanah perikanan, tanah hutan dan tanah belukar.[5]

Dari definisi Kartohadikoesoemo di atas, terlihat jelas bahwa setiap desa mempunyak bentuk dan karakteristik masing-masing dan tidak bisa disamakan antar satu desa dengan desa yang lainnya.  Jadi, setiap desa mempunyai varian yang berbeda dengan desa lainnya.  Sebagai contoh, di Jawa Barat, tiap-tiap desa mempunyai balai desa sebagai tempat pertemuan atau rapat-rapat masyarakat desa dan sekaligus tempat pemerintahan desa berkantor, sementara di Jawa Timur, balai desa tidak diperlukan, karena tempat pertemuan masyarakat desa seringkali dilakukan di rumah kepala desa yang mempunyaipendopo yang digunakan seba-gai tempat pertemuan antar masyarakat dan pemerintah desa.

Definisi umum yang disampaikan oleh Kartohadikoesoemo sebelumnya, memperlihatkan kepada kita akan empat hal penting definisi desa dari berbagai tinjauan yang perlu dijelaskan lebih lanjut, yaitu: (1) desa dalam tinjauan geneo-logis, territorial dan campuran; (2) desa dalam tinjauan sosiologis; (3) desa dalam tinjauan ekonomi; dan (4) desa dalam tinjauan politik dan hukum.

Desa Tinjauan Geneologis, Territorial dan Campuran

Definisi desa dari tinjauan geneologis, tinjauan terrirotial dan tinjauan cam-puran mempunyai perbedaan.  Dimana desa dari tinjauan geneologis lebih menekankan kepada hubungan kekerabatan, sedangkan tinjauan territorial lebih menekankan kepada hubungan tinggal dekat.  Sementara itu, desa dari tinjauan campuran adalah gabungan dari dua diktum yang telah disebutkan sebelumnya.

Untuk tinjauan geneologis dikemukan oleh Soetardjo Kartohadikoesoemo[6].  Menurutnya, bentuk desa dari tinjauan geneologis ini terbagi ke dalam beberapa jenis desa, anatara lain: (1) suatu bentuk yang terjadi dari orang-orang yang mem-punyai persamaan keturunan dari seorang bapak yang pertama dan bapak-bapak yang diturunkan oleh bapak yang pertama itu, seperti: desa yang terdapat di Nias, Batak, Bali dan lain-lain; (2) bentuk yang berpedomana pada ‘hak ubu’, dimana yang dianggap warga masyarakat adalah mereka yang diturunkan oleh ibu perta-ma dan ibu-ibu yang dituakan oleh ibu yang pertama dalam suku itu, seperti: desa di Minangkabau, Kerinci, Semendo dan beberapa desa di bagian Indonesia Timur; (3) bentuk yang memandang antara faktor laki-laki dan perempuan sama berharga, seperti: di Kalimantan dan Sulawesi; dan (4) bentuk yang berdasarkan aturan, dimana seorang anak baik masuk kerabat bapak, maupun masuk kerabat ibu, se-perti: desa di Rejang.

Berbeda dengan tinjauan geneologis, desa dari tinjauan territorial, menurut Kartohadikoesoemo[7], terdiri dari tiga jenis desa, yaitu: (1) persekutuan dusun, seperti: di Madura, Jawa dan Bali.  Beberapa sifat yang dimiliki oleh jenis perse-kutuan dusun adalah masyarakat terjadi dari orang-orang yang tidak terikat oleh hubungan darah, bertempat tinggal disuatu tempat, mempunyai wilayah dengan batas yang tertentu, mempunyai pemerintah yang berkuasa dan lain-lain; (2) persekutuan daerah, dimana sifatnya terdiri dari: terdapatnya beberapa kediaman masyarakat yang terpisah dengan masyarakat yang lainnya, masing-masing tempat mempunyai kekuasaan tersendiri, tempat-tempat kediaman tersebut menjadi hukum yang lebih besar dan sebagainya.  Jenis persekutuan ini terdapat di Ang-kola, Mandailing dan lain-lain; dan (3) gabungan dusun, dapat dijumpai di daerah pedalaman Batak.  Adapun sifatnya: dalam suatu desa ada beberapa desa, desa-desa tersebut mempunyai wilayah dan batas sendiri-sendiri, mempunyai peme-rintahan sendiri dan lain-lain.

Berbeda dengan Kartohadikoesoemo, desa dalam tinjauan territorial menu-rut Bintarto[8] adalah  suatu hasil perpaduan kegiatan sekelompok manusia dengan lingkungan.  Hasil dari perpaduan itu ialah suatu ujud atau kenampakan di muka bumi yang ditimbulkan oleh unsur-unsur fisiografi, sosial, ekonomi, politik dan kultural yang saling berinteraksi antar unsur tersebut dan juga dalam hubungannya dengan daerah-daerah tersebut.  Sehingga unsur-unsur desa, menurut Bintarto (1983), terdiri dari: (1) daerah, dalam arti tanah-tanah yang produktif dan tidak produktif, beserta penggunaannya, termasuk juga unsur lokasi, luas dan batas yang merupakan lingkungan geografi setempat; (2) penduduk, adalah yang meli-puti jumlah, pertambahan, kepadatan, persebaran dan mata pencaharian penduduk desa setempat; dan (3) tata kehidupan, dalam hal ini pola tata pergaulan dan ikatan-ikatan pergaulan warga desa.  Umumnya desa didiami oleh sejumlah kecil penduduk dengan kepadatan yang rendah.[9]

Terdapat satu lagi definisi desa yang diungkapkan oleh Kartohadikoesoemo, yaitu desa campuran.  Desa dalam bentuk campuran ini terdiri dari lima jenis, yai-tu: (1) suatu masyarakat seturunan (suku) menetap disuatu daerah yang kemudian menentukan wilayahnya dengan batas-batas tertentu, seperti desa yang terdapat di Buru; (2) suatu daerah hukum territorial disamping suku atau beberapa suku (bagian suku) terdapat golongan-golongan dari lain-lain suku atau orang-orang perseorangan sebagai warga kelas dua dalam hal melakukan hak tatapraja dan menguasai tanah, seperti: di Batak Toba dan Rejang; (3) suatu daerah hukum territorial terdapat suatu suku (bagian suku) sebagai warga daerah asli, seperti: di Sumba Tengah dan Sumba Timur; (4) daerah hukum territorial (nagari, marga) terdapat bagian-bagian suku yang satu dengan yang lain, seperti: di Minangkabau dan Bengkulu; dan (5) daerah hukum territorial terdapat beberapa bagian suku yang satu dengan yang lain tidak ada hubungan darah, seperti di Minangkabau dan Rejang.

Desa Tinjauan Sosiologis

Dalam tinjauan sosiologis, desa dapat didefinisikan sebagai tempat berakti-vitasnya suatu komunitas yang memiliki corak tersendiri. Kuntowijoyo[10] membe-rikan gambaran bahwa desa pada masa lampau merupakan komunitas agraris yang tertutup, berbudaya homogen, dan didominasi oleh ikatan tradisional dengan struktur supradesa yang bersifat feodal dan kolonial.  Di desa mereka – warga desa – melakukan hubungan antar satu sama lain.  Pada masa lalu, hubungan yang feodal membagi masyarakat ke dalam dua kelas, yaitu: kelas produksi dan kelas konsumtif.  Mereka yang tergolong kelas produksi adalah petani yang menye-diakan sumber bahan baku pangan bagi kolonial (kelas konsumtif).

Dalam perjalanannya, sisa-sisa feodal tetap membekas dan pembagian kelas di desa tidak dapat hilang begitu saja.  Status masyarakat tetap terbagi ke dalam dua golongan besar, yaitu: golongan priyayisebagai kelas atas dan wong cilik sebagai kelas bawah[11].  Tempat tinggal dua golongan ini pun berbeda, priyayi ber-tempat tinggal di kota sementara wong cilik bertempat tinggal di desa.[12]

Dikotomi dua golongan di atas juga diakui oleh Maschab[13], menurutnya de-sa sering dipertentangkan dengan kota.  Desa digambarkan sebagai suatu bentuk kesatuan masyarakat atau komunitas yang bertempat tinggal dalam suatu lingku-ngan dimana mereka saling mengenal dan corak kehidupan mereka relatif homo-gen serta banyak tergantung dengan alam. Senada dengan Kuntowijoyo, Maschab[14]mengatakan bahwa secara sosiologis desa sebagai tempat hidup suatu masyarakat yang bermata pencaharian di bidang pertanian, memiliki ikatan sosial, adat istiadat yang masih kuat sifat jujur dan bersahaja, pendidikan yang relatif ren-dah dan lain sebagainya.

Definisi diatas, menurut Suhartono[15] memberikan sifat tersendiri[16] bagi desa sebagai satuan komunitas suatu masyarakat.  Namun umumnya, desa seringkali dipandang ‘sebelah mata’ atau sinis oleh masyarakat kota.  Suhartono mengatakan bahwa semua ini pada dasarnya menggambarkan: (1) adanya perbedaan antara penduduk desa dan kota; dan (2) adanya proses yang mendorong perubahan desa (biasanya disebut modernisasi).

Desa Tinjauan Ekonomi

Desa menurut tinjauan ekonomi adalah wilayah yang penduduk atau masya-rakatnya bermatapencaharian pokok dalam di bidang pertanian, bercocok tanam atau agraria, atau nelayan.[17]Wirandi dalam Suhartono[18] menyatakan bahwa desa dalam tinjauan ekonomi lebih menekankan pada sisi produksi, dimana melihat desa sebagai suatu komunitas masyarakat yang memiliki model produksi yang khas.

Sementara itu, Hayami-Kikuchi masih dalam Suhartono[19] memandang bah-wa desa mengandung arti sebagai tempat orang hidup dalam ikatan keluarga dalam suatu kelompok perumahan dengan saling ketergantungan yang besar di bidang sosial ekonomi.  Desa biasanya terdiri dari rumah tangga petani dengan produksi, konsumsi dan investasi sebagai hasil keputusan secara bersama.

Dalam hal ini, Suhartono (2001) berpendapat bahwa saling ketergantungan dan saling kerjasama antar rumah tangga petani merupakan citra yang sudah melekat pada masyarakat desa.[20]

Desa Tinjauan Hukum dan Politik

Berbicara mengenai desa dalam tinjauan hukum dan politik maka sangat berkaitan erat dengan kajian kesejarahan, seperti yang telah dijelaskan sebelum-nya oleh Kartohadikoesoemo. Dalam arti kata, desa mempunyai otoritas dan otonomi dalam mengurus rumah tangganya sendiri tanpa intervensi ‘pihak luar’.  Namun, realita sejarah berkata lain, pada masa lalu peran kolonial Belanda dan rezim-rezim sebelumnya sangat dominan dalam melakukan intervensi pengaturan terhadap desa-desa di Indonesia.  Sebagai contoh, pihak Belanda dapat saja dengan mudah menunjuk seorang kepala desa tanpa melalui suatu prosedur atau aturan hukum desa setempat guna memuluskan tujuan-tujuan yang ingin dicapai.  Begitupun ketika orde baru berkuasa, gerakan penyeragam desa tidak tanggung-tanggung dilakukan untuk kepentingan sesaat rezim saat itu[21].  Ini berarti otoritas dan otonomi desa yang sesungguhnya tidak ada lagi.

Kemudian desa dari tinjauan hukum dan politik lebih menekankan kepada tata aturan yang menjadi dasar pengaturan kehidupan masyarakat yang memiliki kesatuan hukum, berkuasa dan mengadakan pemerintahan sendiri.  Karena setiap desa berbeda tata aturannya, maka kesatuan masyarakat hukum di sebuah daerah, tidak menjadi bagian dari kesatuan masyarakat hukum daerah lainnya.  Sebagai contoh, di Jawa, desa merupakan daerah yang berdiri sendiri, memiliki rakyat sendiri, penguasa sendiri dan mungkin pula harta benda sendiri, dan dengan demi-kian hukum yang berlaku didalamnya adalah hukum tunggal, satu, tidak bervariasi nilai.  Kondisi ini jelas berbeda di desa-desa Tapanuli, dimana kesatuan masya-rakat hukum adat mempunyai bentuk yang bertingkat. [22]

Untuk itu, desa seyogyanya dipandang sebagai subyek dalam penyeleng-garaan kehidupan berbangsa dan bernegara dengan ragam coraknya sendiri, bukan malah sebaliknya sebagai obyek yang harus mengikuti keseragaman melalui kebi-jakan pemerintah.  Maka dari itu, demokratisasi desa merupakan syarat mutlak untuk mewujudkan otonomi desa itu sendiri.  Demokratisasi desa dimaksudkan untuk menghidupkan kesatuan hukum masyarakat yang selama ini telah menga-lami polarisasi akibat kebijakan keseragaman oleh pemerintah.  Sehingga masyarakat desa dapat mengaktualisasikan dan mengapresiasikan sosial – budaya yang menjadi bangunannya selama ini.

Perkembangan Desa

Terdapat dua pendapat yang berbeda mengenai asal usul terbentuknya desa.  Pendapat pertama, yang identik dengan perkembangan desa dari dalam,  meng-atakan bahwa komunitas desa semula terbentuk dari sekelompok orang yang masih mempunyai ikatan darah (keluarga), yang dengan bebas bermukim secara menetap pada suatu lokasi tertentu setelah membuka tanah (bertani).  Dari sanalah kemudian keluarga tersebut berkembang dan mengembangkan kekuasaan politik untuk pengaturan lebih lanjut, baik dalam mengatur komunitas atau mengatur sumberdaya yang terbatas.[23]

Kedua, perkembangan desa tidak lain merupakan hasil rekayasa (buatan) dari kekuasaan besar yang sudah lebih terdahulu terbentuk.  Ini dapat dilihat dari desa yang terbentuk akibat dari politik kerajaan-kerajaan terdahulu, dan demikian pula desa dalam ikatan administratif territorial untuk penarikan pajak dan tenaga kerja yang tidak lain akibat dari politik kolonial.[24] Sehingga dapat dikatakan perkembangan desa memiliki bentuk dan karakteristik masing-masing yang ber-beda disetiap daerah sesuai dengan historisnya.

Dalam tulisan ini, merujuk tulisan Suhartono berjudul politik lokal, penulis membagi tiga perkembangan penting dari desa.  Adapun ketiga perkembangan ter-sebut, sebagai berikut:

  1. 1. Desa di Zaman Feodal

Desa di zaman feodal sangat tergantung atau di bawah kekuasaan se-orang raja.  Ini berkaitan erat dengan teori milik raja (vorstendomein), yaitu raja pemilik tanah seluruh kerajaan, dan dalam pemerintahannya dibantu oleh birokrat yang terdiri dari sentana dan narapraja.[25]

Jika tanah dikuasai oleh raja berarti rakyat – petani – mempunyai akses yang sangat kecil terhadap tanah dan berarti segala hasil produksi pertanian yang dihasilkan oleh petani setidaknya harus dibagi kepada raja dan para pejabat kerajaan.  Sistem feodal ini berdampak terhadap rendahnya daya tawar petani dalam pengeloaan aset-aset sumberdaya yang dimiliki desa karena pengelolaan tanah oleh petani tidak lain wujud dari kepentingan atau kekua-saan dari raja.  Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa rakyat atau petani boleh mengelola tanah jika mendapat restu dari sang penguasa ‘raja’. Untuk itu, mobilisasi atau gerak maju dan gerak mundur desa di zaman feodal sangat tergantung pada intervensi kekuasaan raja.  Perubahan tidak dapat dilihat sebagai proses wajar dalam kehidupan, melainkan merupakan berkah dari seorang raja.[26]

  1. 2. Desa di Masa Kolonial

Tidak banyak yang diharapkan adanya perubahan desa pada masa kolo-nial ini jika dibanding desa di zaman feodal.  Mengapa demikian?  Setidaknya, menurut Kartodirjo[27], desa di masa kolonial ini ditandai dengan watak koloni-alisme yang mana hubungannya berpangkal pada prinsip dominasi, eksploitasi, diskriminasi dan dependensi.

Posisi kehidupan rakyat – petani – tetap termarjinilisasi dalam arti kata tidak mengangkat kehidupannya kearah yang lebih baik, bahkan dapat dikata-kan lebih parah jika dibandingkan desa di bawah kekuasaan feodalistik.  Me-nurut Suhartono (2000), meskipun corak produksinya “berbau” kapitalistik yang berbeda dengan perkembangan desa sebelumnya, akan tetapi tidak ber-tabrakan langsung dengan corak produksi feodal.

Disadari bahwa pada masa kolonial, penguasan kolonial mampu membe-baskan tanah dari kungkungan raja atau kaum bangsawan serta menerapkan proses liberalisasi.  Akan tetapi, tidak berarti bahwa masyarakat desa atau petani mengalami proses transformasi kehidupan kearah yang lebih baik.  Malah sebaliknya, status masyarakat desa makin parah akibat dari pengek-ploitasian segala bentuk sumberdaya desa[28] – termasuk para petani didalamnya – demi mendapatkan keuntungan yang lebih besar dan dalam waktu yang sangat.

  1. 3. Desa Pasca Kolonial

Perkembangan desa tidak berubah banyak pada pasca kolonial ini.  Desa sebagai satu kesatuan hukum dalam bermasyarakat yang mempunyai pemerin-tahan sendiri dan berhak mengatur pengelolaan terhadap aset-aset sumberdaya desa ternyata hanya sebuah utopia.

Akibat dari kebijakan yang top down oleh rezim pada saat itu menye-babkan perkembangan desa tidak mempunyai arti apa-apa.  Petani masih tetap dalam kondisinya seperti dahulu, dimana teraleanasinya petani terhadap akses sumberdaya, sehingga dapat dikatakan transformasi kearah kesejahteraan petani tidak mengalami perubahan yang cukup signifikan.  Ini dapat dilihat dari keengganan pemerintah untuk melakukan reforma agraria yang ditandai dengan pembekuan Undang-Undang Pembaharuan Agraria (UUPA Tahun 1960).  Semua ini merupakan bukti dari ketidakberpihakan pemerintah terha-dap persoalan yang substansial bagi masyarakat desa di Indonesia.

Tidak hanya itu, kelembagaan desa yang mempunyai karakteristik dan varian yang berbeda-beda yang mana sesuai dengan akar budaya masing-masing desa, oleh Pemerintah dilakukan penyeragaman kelembagaan desa dengan diberlakukannya kebijakan pemerintah berupa UU No. 5 Tahun 1979.

Problematika dan Agenda Masa Depan Desa

Dari beberapa tinjauan pendefinisian dan perkembangan desa yang telah diuraikan di atas, setidaknya akan dapat membantu kepada kita untuk mengetahui apa saja yang menjadi problematika desa selama ini.  Dalam tulisan ini, penulis mengajukan beberapa problematika utama yang dihadapi desa-desa di Indonesia, yaitu: pertama, adanya dikotomi kota – desa, berakibat terhadap ketimpangan pembangunan yang selama ini terjadi di desa.  Dikarenakan desa selalu diidentik-kan dengan keterbelakangan, kemalasan, kemiskinan dan lain sebagainya menye-babkan model pembangunan desa seringkali salah arah.  Desa selama ini selalu dijadikan sebagai obyek pembangunan,  sebagai contoh, desa ketika pemerintahan orde baru diprogramkan sebagai “pos-pos” swasembada beras dan oleh karena itu pengadopsian teknologi merupakan syarat mutlak untuk mewujudkan program tersebut.

Semua ini tidak lain karena pembangunan desa selalu dipandang dari sudut pandang ‘orang luar’ bukan berdasarkan sudut pandangan ‘orang dalam’ yang lebih mamahami problematika desanya.  Kondisi ini tidak terlepas dari pengaruh pemahaman modernisasi yang dianut oleh pemerintah dan seolah-olah dipaksa-nakan untuk diterapkan pada tingkatan desa.  Model pembangunan desa merupa-kan salah satu problematika desa yang belum terselesaikan hingga hari ini, untuk itu, yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana sesungguhnya model pembangun-an di desa itu sendiri?  Bagi penulis, model pembangunan desa seyogyanya berdasarkan kebutuhan internal desa itu sendiri dengan kata lain berdasarkan pendekatan sosio-kultur masing-masing desa.

Kedua, problematika dan agenda masa depan desa berikutnya adalah seputar permasalahan tanah atau dengan kata lain problematika agraria.  Menurut penulis, desa hadir sangat berkaitan erat dengan tanah, dikarenakan tanah adalah pusat produksi bagi masyarakat pedesaan yaitu petani/peasant.  Sebagai akibat dari pilihan modernisasi pertanian yang ditandai dengan pesatnya pertumbuhan indus-trilisasi di bawah payung MNC (Multi National Cooperation) berdampak terha-dap termarjinalisasinya kaum tani[29]di tanahnya sendiri.  Kondisi ini berakibat curamnya jurang pemisah antara petani kaya dan petani miskin, dimana ‘petani kaya makin kaya dan petani miskin makin miskin’.  Seharusnya, petani-petani sub-sistensi yang jumlahnya banyak inilah yang perlu diperhatikan oleh pemerintah bukan para farmeratau mereka yang beraliansi ke MNC yang mendapat perhatian khusus dari para pengambil kebijakan di negara ini.

Sesuai dengan kondisi di atas, gejala keterpurukan sektor pertanian di Indo-nesia yang ditandai dengan semakin ‘membengkaknya’ angka petani subsistensi disambut kritis oleh Bonnie Setiawan.[30]Menurutnya permasalahan substansi dan fundamental sektor pertanian di Indonesia adalah masalah struktural yang menda-lam.  Masalah struktural ini tidak lain bagaimana mentransformasikan puluhan juta kaum tani miskin dan marjinal ke dalam dunia pertanian yang lebih modern dan yang memungkinkan mereka hidup layak.[31] Maka, kunci terpenting untuk agenda masa depan desa adalah melakukan agenda pembaruan agraria (agrarian reform) yang dapat membawa sektor pertanian kearah yang modern dan sehat.

Dan ketiga, secara historis perkembangan desa seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, dimana terlihat jelas ketidakberdayaan masyarakat desa atas hege-moni ‘pihak luar’ terhadap kesatuan hukum dalam wilayah desa menyebabkan ambruknya pranata kelembagaan desa yang telah ada sebelumnya.  Setidaknya, menurut penulis, ambruknya pranata kelembagaan desa merupakan problematika tersendiri bagi desa-desa di Indonesia saat ini.

UU No. 5 Tahun 1979 di bawah kekuasan rezim orde baru yang menyera-gamkan kekuasaan desa dan menempatkan desa dibawah kekuasaan Camat secara langsung berakibat terhadap ‘mandulnya’ peran-peran politik masyarakat desa dan ‘matinya’ kreativitas dan apresiasi masyarakat desa dalam berpolitik.   Untuk itu, langkah terbaik dalam rangka membangkitkan dan menghidupkan peran, kreati-vitas dan apresiasi politik warga desa yang juga merupakan agenda masa depan desa adalah melakukan apa yang disebut ‘demokrasi desa’.  Demokrasi desa tidak lain merupakan demokrasi asli dari suatu masyarakat yang belum mengalami stratifikasi sosial.  Jadi budaya ‘mufakat’ antar sesama warga desa masih dapat ditemukan.

Namun yang terpenting untuk menjadi perhatian dalam menumbuh kem-bangkan domokrasi desa ditengah-tengah kondisi masih banyaknnya desa yang menonjol struktur politik bersifat feodal dan autokratis, menurut Suhartono[32], diperlukan suatu upaya yang bukan saja mendorong perubahan-perubahan politik, melainkan juga perlu menyentuh segi-segi ekonomi atau struktur ekonominya.

Penutup

Pendefinisian desa secara tepat akan memungkinkan kita untuk memahami berbagai persoalan atau problematika yang menghimpit desa selama ini.  Pema-haman akan berbagai permasalahan yang menghimpit desa ini, setidaknya dapat menghantarkan kita untuk menyusun berbagai agenda pokok masa depan desa yang berimplikasi secara langsung terhadap model pembangunan yang nantinya akan diterapkan di desa.  Di Indonesia, hadirnya desa, keberadaan tanah, dan mata pencaharian di sektor pertanian merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipi-sahkan.

Karena mayoritas penduduk Indonesia saat ini diperkirakan bermukim di pedesaan, maka dapat dipastikan sektor pertanian merupakan fokus utama mata pencaharian masyarakat desa.  Sehingga dapat dikatakan, ‘membangun desa = membangun Indonesia’.  Membangun desa tentunya diperlukan agenda penting yang harus dikerjakan.  Untuk itu, terdapat tiga agenda penting bagi masa depan desa, yaitu: (1) pembangunan desa melalui pendekatan sosial-budaya masing-masing desa; (2) melakukan pembaruan agraria; dan (3) demokrasi desa.

Daftar Pustaka

Asy’ari, S.I. 1993.  Sosiologi Kota dan Desa.  Penerbit Usaha Nasional Surabaya – Surabaya.

Bintarto, R.  1983.  Interaksi Desa – Kota.  Penerbit Ghalia Indonesia – Jakarta.

Djuliantara, D. et al.  2000.  Menggeser Pembangunan Memperkuat Rakyat.  Penerbit Lapera – yogyakarta.

Kartohadikoesoemo, S.  1953.  Desa.  Penerbit Sumur Bandung – Bandung.

Kuntowijoyo. 2002.  Radikalisasi Petani.  Penerbit Bentang – Yogyakarta.

Setiawan, Bonnie.  2003.  Globalisasi Pertanian.  Penerbit IGJ – Jakarta.

Suhartono, et al.  2001.  Politik  Lokal.  Penerbit Lapera – Yogyakarta.

Tim Lapera.  2000.  Politik Pemberdayaan: Jalan Mewujudkan Otonomi Desa.  Penerbit Lapera – Yogyakarta.

Pelzer, K. J.  1985.  Toen Keboen dan Petani: Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria.  Penerbit Sinar Harapan – Jakarta.


[1] Banyak referens yang menyatakan pengeksploitasian orang desa dilakukan oleh para penguasa, elit politik dan para pemodal untuk mencapai tujuannya.  Seperti yang dijelaskan oleh Karl J. Pelzer tentang perkebunan tembakau di desa-desa Sumatera Utara dekade 1880-an, dimana orang-orang desa di Sumatera Utara dipaksa untuk bekerja di perkebunan tembakau milik kolonial Belanda untuk kepentingan pasar ekspornya, begitupun pada dekade 1960-an dimana orang-orang desa yang tidak mengerti tentang apa itu komunis dituding sebagai ‘antek-antek’ komunis karena ikut dalam program yang digencarkan oleh PKI. Begitupun tidak luput dari ingatan kita bagaimana pemerintahan orde baru dengan kebijakan sentralistik dimana melakukan penyeragaman lembaga-lemabaga yang ada di pedesaan.

[2] Biasanya bentuk-bentuk perlawanan orang desa disesuaikan dengan norma-norma yang berlaku di komunitas mereka.

[3] Kartohadikoesoemo, S.  1953.  Desa.  Penerbit Sumur Bandung – Bandung, hal. 5.

[4] Menurut Soetardjo Kartohadikoesoemo, desa, dusun, desi dan begitupun halnya dengan negara, negeri, nagari, negory berasal dari perkataan sangsakerta yang artinya tanah air, tanah asal dan tanah kelahiran.

[5] Ibid 5, hal. 3-4.

[6] Ibid, hal. 44 – 45.

[7] Ibid, hal. 46 – 47.

[8] Bintarto, R.  1983.  Interaksi Desa – Kota.  Penerbit Ghalia Indonesia – Jakarta. hal. 46 – 47.

[9] Asy’ari, S.I. 1993.  Sosiologi Kota dan Desa.  Penerbit Usaha Nasional Surabaya – Surabaya, hal. 93

[10] Kuntowijoyo, 2002.  Radikalisasi Petani.  Penerbit Bentang – Yogyakarta.

[11] Istalah priyayi dan wong cilik dalam pembagian kelas di masyarakat pedesaan pada tulisan ini,  mengacu pada definisi awal bahwa istilah desa awalnya berasal dari daerah Jawa, Madura dan Bali.  Pembagian kelas dalam masyarakat pedesaan juga terjadi di pedesaan di luar Jawa, Madura dan Bali.

[12] Pembagian ini dapat dilihat dalam tulisan Kuntowijoyo (2002) dalam bukunya yang berjudul “Radikalisasi Petani” yang diterbitkan oleh Bentang – Yogyakarta.  Halama: 4 – 5.

[13] Maschab (1992) dalam Suhartono, et al. 2001.  Politik  Lokal.  Penerbit Lapera – Yogyakarta, hal. 10 – 11.

[14] Ibid.

[15] Suhartono, et al.  2001.  Politik  Lokal.  Penerbit Lapera – Yogyakarta.

[16] Sifat yang dimaksudkan adalah sifat positif ataupun sifat negarif dari desa.  Sifat positif, seperti: kebersamaan, kejujuran, rendah hati dana lain-lain.  Sementara sifta negatif, seperti: kebodohan, keterbelakangan dan lain sebagainya.

[17] Asy’ari, S.I. 1993.  Sosiologi Kota dan Desa.  Penerbit Usaha Nasional Surabaya – Surabaya, hal. 93.

[18] Ibid 17, hal. 11.

[19] Ibid, hal. 11.

[20] Meskipun saat ini citra yang melekat pada rumah tangga petani ini sudah mulai memudar menurut beberapa akademisi.  Memudarnya citra ini berkaitan erat dengna proses modernisasi desa yang banyak menciptakan deferensiasi sosial di masyarakat pedesaan kita.

[21] Penyeragam desa dapat dilihat kebijakan pemerintah terhadap masyarakat desa dalam UU No. 5 Tahun 1979.  Undang-Undang ini secara jelas menempatkan desa sebagai suatu organisasi pemerintahan terendah di bawah Camat.

[22] Tim Lapera.  2000.  Politik Pemberdayaan: Jalan Mewujudkan Otonomi Desa.  Penerbit Lapera – Yogyakarta.

[23] Wirandi dalam Suhartono, et al.  2001.  Politik  Lokal.  Penerbit Lapera – Yogyakarta, halaman 17.

[24] Ibid, halaman 17.

[25] Ibid, halaman 17-18.

[26] Ibid, halaman 19.

[27] Kartodirjo dalam Suhartono, et al.  2001.  Politik  Lokal.  Penerbit Lapera – Yogyakarta, halaman 20.

[28] Salah satu bentuk pengekploitasian sumberdaya tersebut adalah diberlakukannya sistem kerja paksa yang memberikan penderitaan berarti bagi masyarakat desa di Indonesia.

[29] Kaum tani yang dimaksud disini adalah petani menurut definisi Wolf dan Willis yaitu petani subsistensi yang hidup dari usaha pengelolaan tanah milik sendiri.

[30] Bonnie Setiawan adalah Direktur Institute for Global Justice (IGC) yang menulis buku yang berjudi “Globalisasi Pertanian”.

[31] Ibid, halaman 166.

[32] Suhartono, et al.  2001.  Politik  Lokal.  Penerbit Lapera – Yogyakarta, halaman 27.

Sumber : IPB

Sosiologi Pedesaan Untuk Pembangunan


Sofyan Sjaf

Umumnya, sebagian besar pendapat mengatakan bahwa sumber pengetahuan berasal dari dua aras pemikiran yang berbeda, yakni rasionalisme dan empirisme.  Mereka yang berpegang pada paham pertama (disebut kaum rasionalis) begitu mengagung-agungkan rasio dengan metode deduksinya sebagai sumber pengetahuan.  Berbeda dengan paham pertama ini, kaum empiris (istilah bagi mereka yang berpaham empirisme) menganggap bahwa sumber pengetahuan berasal dari pengalaman empiris dari seseorang yang kemudian ditarik dengan metode induksi sebagai sumber pengetahuan.

Meski demikian, tak dapat disangkal bahwa perbedaan kedua pemikiran di atas dapat memberikan ilmu sekaligus pengetahuan bagi manusia untuk memahami fenomena kehidupan dengan kelebihan dan kelemahannya masing-masing.  Dalam bingkai ini, bagaimana menempatkan sosiologi dan sosiologi pedesaan sebagai ilmu pengetahuan atau sumber pengetahuan?

Setidaknya makalah ini ditulis, tidak lain dimaksudkan untuk memaparkan sosiologi dan sosiologi pedesaan sebagai ilmu pengetahuan.  Untuk menunjukkan keshahihannya, pendekatan yang digunakan untuk mengalisis adalah menggunakan hakekat/filosifis ilmu pengetahuan yang di dalamnya terdapat aspek ontologi dan epistimologi.

Sosiologi dan Sosiologi Pedesaan Sebagai Ilmu Pengetahuan

Sosiologi maupun Sosiologi Pedesaan sebagai ilmu pengetahuan, tidak lain adalah seperangkat fakta sosial yang terkristal dalam bentuk teori/konsep/cara pandang yang digunakan sebagai tools atau pisau analisis untuk mencari dan menelusuri kebenaran-kebenaran yang nampak (realitas) maupun tidak nampak (peramalan) dalam kehidupan manusia. Dengan demikian, Sosiologi dan Sosiologi Pedesaan sebagai ilmu pengetahuan, dapat ditelusi secara hakekat/filosofis dari aspek epistimologi, ontologi, maupun aksiologi sebagai suatu pemikiran yang konprehensif untuk menelusuri, mencari, dan memperediksi gejala sosial yang terjadi di masyarakat.

JF. Ferrier merupakan seorang filsuf yang pertama kali melakukan pembedaan antara ontologi dan epistimologi pada tahun 1854 (Hunnex, 2004).  Ontologi menurutnya adalah bagaimana mempertanyakan apa realitas yang ada, sedangkan epistimologi merupakan teori pengetahuan yang menanyakan dengan apa manusia bisa mengetahui.  Adapun aksiologi lebih berbicara tentang sumber nilai, yang di dalamnya terkandung epistimologi dan ontologi secara bersamaan[1].

Dalam bingkai di atas, Kattsoff (2004) dalam bukunya yang berjudul ”Pengantar Filsafat” menguraikan empat paham/teori untuk mengungkapkan cara manusia bisa mengetahui suatu realitas (epistimologi).  Adapun keempat teori yang dimaksud, sebagai berikut:

(1).        Teori Koherensi (Coherence Theory), yakni suatu proposisi cenderung benar jika proposisi tersebut dalam keadaan saling berhubungan dengan proposisi-proposisi lainnya yang benar, atau jika makna yang dikandungnya dalam keadaan saling berhubungan dengan pengalaman kita.  Atau dengan kata lain, paham ini mengatakan bahwa derajat keadaan saling berhubungan merupakan ukuran bagi derajat kebenaran, sedangkan keadaan saling berhubungan dengan semua kenyataan memberikan kebenaran mutlak.

(2).        Teori Korespondensi (Correspondence Theory), yakni suatu pernyataan itu benar jika makna yang dikandungnya sungguh-sungguh merupakan halnya.  Kebenaran atau keadaan benar berupa kesesuaian antara makna yang dimaksudkan oleh suatu pernyataan dengan apa yang sungguh-sungguh merupakan halnya, atau apa yang merupakan fakta-faktanya.

(3).        Teori Empiris (Empirist Theory), yakni memandang proposisi bersifat meramalkan (predictive) atau hipotetis, dan memandang kebenaran proposisi sebagai terpenuhinya ramalan-ramalan.

(4).        Teori Pragmatis (Pragmatism Theory), yakni proposisi-proposisi yang membantu kita mengadakan penyesuaian-penyesuaian yang memuaskan terhadap pengalaman-pengalaman kita.

Berbeda dengan epistimologi, makna penting dari ontologi adalah pembedaannya antara pihak yang mengetahui dan hal yang diketahui (Hunnex, 2004).  Tentang hal ini, Kattsoff (2004) menegaskan bahwa ontologi merupakan jawaban pertanyaan mengenai hakekat kenyataan.  Untuk itu, Kattsoff merumuskan sejumlah pernyataan mengenai kenyataan, yang terdiri dari:

(1).        Kenyataan bersifat kealaman (naturalisme), yakni kejadian-kejadian dalam ruang dan waktu merupakan satuan-satuan penyusunan kenyataan yang ada, dan senantiasa dapat dialami oleh manusia biasa.  Dalam hal ini, kaum naturalisme berpendapat bahwa faktor-faktor penyusun segenap kejadian ialah proses, kualitas, dan relasi.

(2).        Kenyataan benda mati (materialisme), yakni kejadian-kejadian yang nampak dalam kehidupan manusia tersusun dari seperangkat materi.  Dalam hal ini, kaum materialisme lebih mendalam memaknai segala kejadian dibandingkan dengan kamu naturalisme. Meski demikian, seorang materialisme terkadang sependirian dengan seorang naturalisme.

(3).        Kenyataan bersifat kerohanian (idealisme), yakni kejadian-kejadian yang nampak dalam kehidupan manusia pada prinsipnya tidak terlepas dari jiwa atau roh sebagai dasar dari kehidupan manusia.  Dalam hal ini, kaum idealisme terpecah menjadi dua golongan, pertama, kaum spritualisme yang berpendirian bahwa segenap tatanan alam dapat dikembalikan kepada atau berasal dari sekumpulan roh yang beraneka ragam dan berbeda-beda derajatnya.  Kedua, kaum dualisme yang berpandangan bahwa yang terdalam ialah jiwa semesta yang berprinsip bahwa materi tidak berasal dari jiwa, meskipun materi berkesinambungan dengan jiwa.

(4).        Hylomorfisme, yakni kejadian-kejadian sebagai bentuk kenyataan yang ada disekeliling manusia terdiri dari bahan dan bentuk.  Dengan kata lain, terdapat esensi dan eksistensi dalam diri setiap manusia dalam membentuk kenyataan yang ada disekelilingnya.

(5).        Positivisme logis, yakni pandangan yang mendasarkan diri pada penalaran akal dan semuanya memakai perangkat fakta yang sama sebagai landasan penopang untuk menunjukkan kebenarannya.  Dengan demikian, ontologi positivisme logis meniadakan atau menolak segala bentuk yang berbau metafisika.

Selanjutnya, dari pembedaan epistimologi dan ontologi di atas, kemudian dapat digunakan sebagai alat (tools) atau kerangka analisis untuk memetakan pemikiran Sosiologi dan Sosiologi Pedesaan sebagai seperangkat ilmu pengetahuan untuk mengalisis gejala sosial yang hadir di masyarakat.  Jika ”aliran” dalam epistimologi dan ontologi saling disilangkan (dibuatkan matriks), maka akan terurai 20 sel sebagai perwujudan dari peta pemikiran Sosiologi dan Sosiologi Pedesaan sebagai ilmu pengetahuan berdasarkan aspek ontologi dan epistimologinya, yakni: naturalisme – koherensi, naturalisme – korespondensi, naturalisme – empiris, naturalisme – pragmatis, materialisme – koherensi, materialisme – korespondensi, materialisme – empiris, materialisme – pragmatisme, idealisme – koherensi, idealisme – korespondensi, idealisme – empiris, idealisme – pragmatisme, hylomorfisme  – koherensi, hylomorfisme – empiris, hylomorfisme – korespondensi, hylomorfisme – pragmatisme, positivisme logis – koherensi, positivisme logis – korespondensi, positivisme logis – empiris, dan positivisme logis – pragmatisme.

Meski demikian, perlu kembali ditekankan, bahwa pembuatan matriks di atas sekedar mempermudah pemetaan pemikiran Sosiologi dan Sosiologi Pedesaan sebagai seperangkat ilmu pengetahuan yang mana tidak mustahil banyaknya sel yang ada di dalam matriks menunjukkan jumlah pemetaan pemikiran Sosiologi dan Sosiologi Pedesaan yang ada hingga saat ini dan sebaliknya.

Sosiologi dan Sosiologi Pedesaan: Ilmu Pengetahuan yang Berdasar

Slattery (2003) dalam bukunya yang berjudul ”Key Ideas in Sociology” kembali menegaskan bahwa sosiologi sebagai displin ilmu pengetahuan, dapat dicermati dari beragam isu, meliputi: ketertiban sosial dan perubahan, kekuasaan dan penguasaan sosial, ketidakmerataan dan stratifikasi sosial.

Dari semua itu, Slattery (2003), kemudian merangkumnya berdasarkan pandangan dari tokoh sosiologi, yakni: (1) Aguste Comte, sebagai “bapak” sosiologi peletak positivisme berpendapat bahwa sosiologi sebagai suatu ilmu pengetahuan yang didasarkan pada logika penalaran; (2)  F. Tonnies dengan konsep “gemmeinschaftgesselschaff” untuk mengkaji “The Lass of Communty in Industrial Society”, yakni studi tentang komunitas dan sosiologi masyarakat kota; (3) Robert Michels mengkaji tentang sosiologi kekuasaan, khususnya elit penguasa sebagai fokus utama sosiologi modern; (4) George Herbert Mead, peletak dasar teori interaksi simbiolisme; dan (5) E. W. Teller mengembangkan konsep kunci tentang perdebatan sosiologi industri.

Berbeda dengan Slattery, Collins (1994) yang mencoba mendefinisikan teori-teori sosiologi ke dalam empat tradisi besar, yakni: (1) tradisi konflik, yang didasarkan argumen bahwa konflik yang terjadi dimasyarakat bukanlah hal yang sederhana , tetapi sangat luas dan berkembang dalam kehidupan masyarakat; (2) tradisi rasional atau utilitarian, yang berpandangan liberal (tapi lunak) dan rasional dari masing-masing induvidu; (3) tradisi durkheim, yang berpandangan makro dan mikro.  Pandangan makro lebih menekankan pada suatu fakta yang dibayangkan sebagai kekuatan dan struktur yang bersifat eksternal dan memaksa individu.  Sementara itu, pandangan mikronya lebih menekankan pada mekanisme ritual-ritual sosial kelompok yang menghasilkan solidaritas; dan (4) tradisi mikro interaksi, yang berpandangan bahwa manusia memiliki kapasitas untuk berfikir dan membedakan interaksionisme simbolik dan akar behaviorisme.

Merujuk dari dua pendapat di atas (baik Slattery maupun Collins), jika dianalisis dengan menggunakan kerangka ontologi dan epistimologi, maka sosiologi sebagai ilmu pengetahuan tidak diragukan lagi dalam mennguraikan dan menjelaskan gejala sosial yang terjadi di masyarakat.  Meski demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa tidak semua tradisi atau teori sosiologi yang ada mengisi ruang sel-sel yang ada.

Berdasarkan bacaan penulis dari tulisan Slaterry (2003) dan Collins (1994), pemetaan pemikiran sosiologi sebagai ilmu pengetahuan dapat dibagi ke dalam delapan kategori, yakni: (1) Naturalisme – Koherensi, meliputi: teori Gemmeinschaft dan Gesselschaff oleh F. Tonnie; (2) Naturalisme – Korespondensi, meliputi: tradisi Durkheim tentang pandangan makronya, yakni kondisi eksternal (alam) mempengaruhi individu; (3) Naturalisme – Empiris, meliputi: teori-teori ekologi; (4) Materialisme – Koherensi, meliputi: tradisi konflik atau teori kelas sosial, teori ketergantungan, dan teori sistem dunia; (5) Materialisme – Empiris, meliputi: teori-teori sosial hijau (Green Social Theory); (6) Idealisme – Korespondensi, meliputi: tradisi mikro interaksi dan teori interaksi simbiolik; (7) Positivisme logis – Koherensi, meliputi: Weber, fenomenologi, strukturalisme, dan neo-fungsionalisme; dan  (8) Positivisme logis – Korespondensi, meliputi: Auguste Comte, tradisi Durkheim tentang pandangan mikronya, tradisi rasional (teori pertukaran, teori pengambilan keputusan rasional), behaviorisme, modernisasi.

Jika uraian di atas, telah memberikan gambaran kepada kita perihal sosiologi sebagai ilmu pengetahuan yang berdasar, lalu bagaimanakah dengan sosiologi pedesaan itu sendiri dapat dikatakan ilmu pengetahuan?

Seperti halnya dengan analisis sebelumnya, sosiologi pedesaan dikatakan sebagai ilmu pengetahuan apabila secara aspek ontologi dan epistimologi mampu menguraikan kenyataan sebagai kebenaran untuk memahami gejala sosial di masyarakat.  Untuk menelusuri ini, penulis merujuk buku ”Sosiologi Pedesaan: Kumpulan Bacaan (Jilid 1)” dimana Prof. Dr. Sajogyo dan Prof. Pujiwati Sajogyo (alm.) sebagai penyunting.  Adapun dasar rujukan ini diambil, sebagaimana ungkapan Prof. Dr. Sajogyo dalam bukunya yang berjudul ”Ekososiologi: Deideologisasi Teori, Restrukturisasi Aksi (Petani dan Perdesaan Sebagai Kasus Uji)”:

…studi sarjana Sarjana 4 tahun di IPB (1971-1974) yang disertai ukuran bobot SKS dan dua “semester” dalam setahun, terjadilah perkembangan baru dimana saya memilih menyusun suatu “kumpulan bacaan” berisi topik-topik sosiologi yang pernah ditulis sejumlah peneliti sosiologi/antropologi/penyuluh pertanian dan pernah diterbitkan di buku atau majalah…

Dalam buku kumpulan bacaan tersebut, berisi tujuh bab yang membicarakan tentang pola-pola kebudayaan, proses-proses sosial, lembaga kemasyarakatan, grup sosial, organisasi sosial, sistem status dan pelapisan masyarakat, dan pola hubungan antarsuku bangsa.  Meski tidak membaca dan menganalisis secara keseluruhan kumpulan bacaan sosiologi pedesaan yang disunting oleh Prof. Dr. Sajogyo dan Prof. Pujiwati Sajogyo, akan tetapi tulisan-tulisan yang disajikan pada buku tersebut, memberikan gambaran kepada kita perihal sosiologi pedesaan sebagai ilmu pengetahuan yang syarat dengan ontologi dan epistimologinya.

Berangkat dari analisis terhadap beberapa bacaan yang penulis lakukan berdasarkan aspek ontologi dan epistimologi, maka pemetaan pemikiran dalam sosiologi pedesaan dapat dibedakan ke dalam 7 kategori, yakni: pertama, naturalisme – empiris, sebagaimana diuraikan dalam tulisan berjudul ”Timbulnya “Desa Jawa” dari masyarakat transmigrasi spontan”; kedua, materialisme – koherensi, dapat dilihat pada tulisan yang berjudul ”Ciri-ciri penghidupan masyarakat pedesaan di Indonesia (bagian konflik & persaingan)”, ”Mengembalikan keberadaan gerakan masyarakat”, dan ”Kerjasama dan struktur masyarakat di Desa Cibodas”; ketiga, materialisme – korespondensi, tergambar dalam tulisan yang berjudul ”Mahasiswa dan Keluarganya”.

Keempat, idealisme – koherensi, dapat dilihat pada tulisan yang berjudul ”Rintangan-rintangan mental dalam pembangunan ekonomi di Indonesia”; kelima, idealisme – korespondensi, tergambar dalam tulisan yang berjudul ”Sistem budaya Bugis – Makassar” dan “Ciri-ciri penghidupan masyarakat pedesaan di Indonesia”; keenam, positivisme logis – koherensi, tergambar dalam tulisan yang berjudul ” Pola perdagangan dan keuangan dalam masyarakat tani di Jawa”; dan ketujuh, positivisme logis – korespondensi, dapat dilihat pada tulisan berjudul ” Proses pembaharuan antar pola kebudayaan” (lihat Tabel 3).

Membandingkan Tradisi Sosiologi Barat dan Tradisi Sosiologi Asia

Dari uraian panjang di atas, penulis sangat sadari bahwa tulisan yang mencoba menguraikan peta pemikiran sosiologi dan sosiologi pedesaan sebagai ilmu pengetahuan (merujuk tiga referensi) masihlah sangat minim.  Oleh karena itu, diperlukan analisis lebih lanjut untuk membandingkan dua tradisi sosiologi (Barat versus Asia) yang berkembangan saat ini.

Upaya ini dirasa sangat penting karena belum terdapat satu kajian yang mendalam perihal tradisi sosiologi yang berkembang di Asia, khususnya di Indonesia.  Dengan kata lain, kajian yang mendalam tersebut dimaksudkan untuk membangun tradisi baru tentang ”Sosiologi Indonesia” yang tentunya berangkat dari fenomena masyarakat Indonesia itu sendiri.  Hal ini disadari harena tradisi sosiologi yang berkembang di Indonesia masih didominasi oleh tradisi sosiologi barat dengan beragam perspektifnya.

Referensi

Collins, R., Four sociological traditions, New York and Oxford: Oxford University Press,1994.

Hunnex, MD., Peta Filsafat: Pendekatan Kronologis dan Tematis, Bandung: Teraju, 2004.

Kattsoff, LO., Pengantar Filsafat, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2003.

Ritzer, G. dan Goodman, DJ., Teori Sosiologi Modern, Jakarta: Kencana, 2003.

Sajogyo dan Pujiwati Sajogyo [penyunting], Sosiologi Pedesaan: Kumpulan Bacaan (Jilid 1), Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1999.

Sajogyo, Ekososiologi: Deideologisasi Teori, Restrukturisasi Aksi (Petani dan Perdesaan Sebagai Kasus Uji), Yogyakarta-Bogor: SAINS, CINDERALAS, Sekretariat Bina Desa Sadajiwa, 2006.

Slattery, M., Key ideas in sociology, Cheltenham: Nelson Thornes Ltd., 2003.

Sumber : IPB

UU Desa serta Birokrasi Bersih dan Melayani


Dewi Aryani  ;   Anggota DPR RI FPDI Perjuangan,

Duta Reformasi Birokrasi Indonesia

KORAN SINDO,  28 Desember 2013

Banyak masyarakat yang “mengecilkan” segala sesuatu hal yang berkenaan dengan “desa”. Desa seringkali identik dengan istilah udik, kampungan, terbelakang, ketinggalan zaman, dan istilah lain yang menjadikan desa sebagai sesuatu yang marginal. Padahal, desa adalah elemen penting dari berdirinya sebuah bangsa, sebuah negara.

Desa adalah partikel penyangga kehidupan kota. Tanpa desa dan segala kehidupan di dalamnya, tentu masyarakat kota tak mampu hidup tanpa peran produktivitas desa, di antaranya tak ada pasokan sayur, buah, hasil alam lainnya, bahkan tenaga kerja. Sebagai negara dengan jumlah wilayah yang begitu luas, Indonesia memiliki desa dengan jumlah yang amat banyak. Kemendagri (2013) mencatat bahwa ada 72.944 desa di Indonesia saat ini.

Jika melihat sebesar apa pengaruh kegiatan masyarakat desa terhadap keberlangsungan kehidupan kota, kita akan tahu persis seberapa besar penting memperhatikan perbaikan pembangunan desa.

Lantas masih pantaskah kita mendiskreditkan desa yang berjumlah begitu banyak di Indonesia? Selama ini desa-desa di Indonesia mengalami banyak kendala dalam pembangunannya. Itulah mengapa desa kerapkali terlambat dalam mengikuti perkembangan zaman.

Jika melihat lebih jauh, setidaknya terdapat dua kendala besar dan utama yang menyebabkan desa mengalami kesulitan dalam pembangunan.

Pertama, minim dana atau dengan kata lain sumber pendapatan desa.

Kedua, ketidakjelasan status sumber daya manusia yang bekerja di pemerintahan desa. Permasalahan keuangan dan sumber daya manusia tentu berpengaruh ke dalam pembangunan desa secara spesifik terhadap kualitas pengelola desa dan kinerja mereka. Ini yang menjadikan banyak stakeholder desa menuntut perbaikan landasan hukum pembangunan desa.

Setelah menempuh berbagai pengorbanan panjang dari para pemangku, pada 18 Desember lalu UU Desa secara resmi telah disahkan oleh DPR RI. UU yang begitu dinantikan banyak stakeholder desa akhirnya rampung dan menjadi payung hukum perbaikan desa. UU desa muncul layaknya pahlawan perubahan desa di Indonesia.

UU ini pun dibuat dengan tujuan tercapai pembangunan desa yang lebih baik karena UU ini akan menjadi dasar kebijakan wewenang bagi para kepala desa untuk melakukan perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pembangunan.

UU Desa secara spesifik mengatur setidaknya 5 hal yakni Pembangunan Desa; Keuangan, Aset, dan BUM Desa; Pembangunan Kawasan Perdesaan; Kerja Sama Antardesa; serta Lembaga Kemasyarakatan Desa. Salah satu hal yang akhir-akhir ini paling disoroti banyak kalangan dalam UU Desa adalah kebijakan terkait sumber pendapatan desa. Tidak aneh mengapa masalah ini yang seringkali dibahas pascapengesahan UU Desa.

Tidak lain tidak bukan adalah karena banyak pelaku pemerintahan yang menyalahgunakan wewenangnya dalam mengelola uang rakyat. Karena itu, menganalisis lebih jauh tentang ini dirasa perlu agar kita semua memahami apa saja langkah preventif yang dapat ditempuh agar pelaksanaan UU Desa, terutama terkait pengelolaan sumber pendapatan desa, tidak disalahgunakan.

Pendapatan desa dari APBN menjadi lebih besar dengan UU Desa. Pasal 27 dalam UU Desa menyebutkan bahwa desa akan memperoleh 10% dari alokasi dana transfer ke daerah, 10% dari pajak dan retribusi daerah, 10% dari dana alokasi umum dan dana bagi hasil, dana bantuan dari APBD provinsi atau kabupaten, dan hibah atau sumbangan yang tidak mengikat pihak ketiga.

Jika sungguh-sungguh diterapkan sesuai tujuan, UU Desa akan mampu menciptakan perubahan dalam pembangunan desa. Pendapatan desa ibarat modal pembangunan.

Dengan pendapatan desa yang besar, pembangunan akan mencapai titik yang optimal. Sebagai contoh, infrastruktur desa akan lebih mudah dibangun. Contoh lainnya kinerja perangkat desa akan dapat ditingkatkan melalui pelatihan-pelatihan yang tentu membutuhkan biaya yang besar dalam pelaksanaannya. Pendapatan desa yang besar akan menjadi faktor pendukung utama dalam kebijakan pembangunan desa.

Sayangnya, dampak negatif juga sangat mungkin terjadi dengan pengaturan baru mengenai sumber pendapatan desa ini. Tentu kita tak lupa bahwa banyak pemekaran daerah baru di Indonesia memunculkan “raja-raja kecil”. Korupsi tak lagi menjadi santapan elite pemerintahan pusat, tapi juga oleh elite pemerintahan daerah, termasuk desa.

Maka itu, jika perbaikan pembangunan desa yang optimal ingin tercapai, perangkat desa perlu melaksanakan beberapa hal untuk mendukung pencapaian tujuan UU Desa.

Setidaknya terdapat dua hal yang perlu dilakukan untuk mendukung keberhasilan implementasi UU Desa di antaranya membuat dan melaksanakan berbagai kebijakan pembangunan desa.

Pertama, kepala desa harus menerapkan sistem birokrasi bersih dan melayani. Penerapan birokrasi bersih dan melayani ini salah satu elemen pendukung keberhasilan implementasi UU Desa.  Kepala desa tentu menjadi penentu utama dalam penerapan faktor pendukung pertama ini, terlebih dalam pengelolaan dana pendapatan desa.

Kepala desa tidak boleh menggunakan wewenangnya tanpa batas. Adapun yang dapat dilakukan untuk mencapai birokrasi yang bersih dan melayani adalah penerapan unsurunsur transparansi, akuntabilitas, serta perubahan mindset aparatur desa.

Hal kedua yang perlu dilakukan untuk mendukung optimalisasi tujuan UU Desa adalah perencanaan kebijakan desa yang ideal.

Anderson (2006) mengungkapkan, dalam membuat dan memilih sebuah kebijakan, setidaknya terdapat enam kriteria yaitu (1) nilai-nilai yang dianut baik oleh organisasi, profesi, individu, kebijakan maupun ideologi; (2) afiliasi partai politik; (3) kepentingan konstituen; (4) opini publik; (5) penghormatan terhadap pihak lain; serta (6) aturan kebijakan. Inilah yang perlu dilakukan kepala desa dalam membuat kebijakan demi mencapai tujuan UU Desa yang optimal.

Seorang kepala desa tidak bisa sekadar menjalankan tugasnya sebagai pelaksana UU Desa tanpa disertai kemampuan untuk membuat kebijakan yang sesuai kriteria-kriteria di atas. Kesalahan yang paling sering terjadi dalam pembuatan kebijakan di desa adalah tidak memperhatikan karakter masyarakat dan kondisi lingkungan desa tersebut yang merupakan kebutuhan mereka.

Masyarakat desa seringkali dijadikan objek pembangunan, padahal seharusnya mereka subjek pembangunan desa. Pemerintah desa bisa menggunakan sistem musrenbang dengan baik jika menginginkan perbaikan pembangunan desa yang maksimal. Dalam membuat kebijakan, kepala desa perlu mendengarkan kebutuhan rakyatnya agar kebijakan yang dibuat tidak salah sasaran dan kontekstual.

UU Desa masih membutuhkan dukungan para kepala desa demi mewujudkan perbaikan pembangunan desa. Tentu saja tidak semudah membalikkan telapak tangan. Dibutuhkan kerja keras dan kepedulian para stakeholderdesa. Rakyat desa tidak boleh lagi menjadi masyarakat yang termarginalkan dalam pembangunan bangsa. Formulasi UU Desa dan Birokrasi Bersih dan Melayani akan menjadi jaminan tercipta pembangunan desa yang lebih baik.

Indonesia tanpa desa yang terbangun dengan baik tidak akan mampu menjadi bangsa yang kokoh. Memulai dengan UU Desa, meneguhkan dengan birokrasi bersih dan melayani, sambutlah Indonesia yang berdiri dengan desa sebagai penyangga kemajuan bangsa. Selamat datang UU desa dan mari terapkan birokrasi bersih dan melayani sebagai paket keberhasilan dan kemakmuran desa di seluruh Nusantara

UU Desa dan Pelarian Modal


Khudori  ;   Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI),

Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat

MEDIA INDONESIA,  02 Januari 2014

DI akhir 2013, pemerintah dan DPR memberi kado istimewa buat warga desa: UU Desa. Lewat produk hukum baru itu, desa bisa berdiri otonom, sama dengan provinsi, kabupaten atau kota, dalam menentukan arah pembangunan. Dengan otonomi itu desa bisa membangun otonomi berbasis ‘otonomi asli desa’ yang berbasis nilai dan identitas lokal. Desa tidak lagi objek, tapi subjek yang memiliki wewenang penuh, baik politik maupun ekonomi. Tak ada lagi penyeragaman model desa ‘Jawa’, tak ada lagi kooptasi perencanaan, penganggaran pembangunan dan redistribusi sumber daya. Pendek kata, tidak ada lagi model ‘pembangunan di desa’ yang sekadar objek, tapi ‘desa membangun’ yang menjadi subjek.

Secara ekonomi, UU Desa juga memuat kewajiban penting terkait dengan penganggaran. Pasal 72 UU Desa menyebut, dana alokasi desa berasal dari APBN diambil sebesar 10% dari dana on top (dana dari dan untuk transfer daerah). Dalam APBN 2014 dana transfer daerah mencapai Rp590,2 triliun. Jadi alokasi anggaran desa Rp59,02 triliun.

Sebanyak 72 ribu desa akan menerima aliran dana Rp0,7 miliar-Rp1,4 miliar, tergantung jumlah penduduk, angka kemiskinan, kesulitan geografi s, dan luas wilayah.

Harus diakui, derap pembangunan selama ini menempatkan desa di pinggir, bahkan jauh di belakang, baik dalam perencanaan maupun penganggaran. Desa hanya jadi objek, terutama objek eksploitasi. Terjadilah pelarian modal dari desa. Pertanyaannya, akankah UU Desa bisa mengakhiri pelarian modal dari desa?

Selama beberapa dekade, derap pembangunan perdesaan lewat introduksi teknologi bernama revolusi hijau pada 1970-an tidak membuat masyarakat menjadi sejahtera. Kesejahteraan semakin jauh, petani dan warga desa makin tak berdaya, dan kearifan lokal tergerus. Ujung dari semua ini, nilai tambah usaha tani terkuras keluar dari desa, keluar dari sektor pertanian. Ironisnya, pelarian modal dari desa dari tahun ke tahun semakin deras.

Ibarat pedang bermata dua, di satu sisi revolusi hijau membawa Indonesia mencapai swasembada beras 1984. Ini menjadi tonggak keberhasilan pembangunan ekonomi umumnya dan pertanian khususnya. Bersamaan dengan itu, tingkat kemiskinan menurun. Di sisi lain, introduksi revolusi hijau membuat sistem usaha tani tanaman pangan sangat tergantung pada faktor produksi dari luar ekonomi perdesaan. Industri pupuk dan pestisida tumbuh pesat.

Petani sebagai inovator dan pribadi yang mandiri berubah jadi pelaksana program. Petani menjadi sangat pasif, kearifan lokal dan modal sosial menjadi pudar. Nilai tambah usaha tani semakin besar keluar dari ekonomi pedesaan untuk membayar faktor produksi dan jasa.

Pada 1983, pengeluaran usaha tani padi sawah untuk membayar pupuk kimia, pestisida, sewa mesin pertanian (traktor) dan ongkos transpor mencapai 25% atau sekitar 7,5% nilai produksi. Pada 1998, berdasarkan data BPS, pengeluaran ini naik jadi 46% dari total biaya atau 12% dari nilai produksi. Seiring makin rendahnya nilai tukar hasil pertanian, porsi pengeluaran usaha tani ini diperkirakan semakin besar. Modal dari desa mengalir kian deras keluar desa. Pengurasan itu berlangsung sampai kini tanpa ada usaha membendungnya.

Pelarian modal juga terjadi dari tabungan warga. Sebagian warga desa yang berhasil `menjadi kaya’ menyimpan dana mereka di bank. Oleh bank, dana tersebut bukan dipakai untuk memberdayakan ekonomi rakyat agar keluar dari kubangan kemiskinan. Sebagai agen pembangunan, bank tidak tertarik menyalurkan kredit mereka ke petani atau usaha kecil-menengah. Menurut kalkulasi almarhum Mubyarto dalam pelbagai penelitian di daerah, hanya 25% tabungan warga desa yang mengalir ke desa. Sisanya mengalir deras ke kota.

Yang tragis adalah pelarian modal sumber daya manusia. Ingin nasibnya berubah, petani menyekolahkan anaknya hingga jenjang perguruan tinggi. Biaya yang besar bersumber dari hasil usaha tani. Namun, petani dan anak-anaknya terpasung praanggapan yang salah kaprah bahwa budaya tani harus dimodernkan.

Dari segi pendidikan, anak-anak petani dididik untuk cita-cita di luar pertanian, yakni menjadi salah satu faktor produksi bagi industri yang tak berbasis pertanian. Ilmu mereka muspro. Ditambah kebijakan politik-ekonomi yang memarginalisasi pertanian membuat sektor ini seolah-olah tidak menjanjikan masa depan. Akhirnya, sektor ini identik dengan guram, udik, miskin, dan tidak menarik tenaga terdidik.

Uraian di atas menunjuk pada dua hal: selama puluhan tahun desa tersubordinasi, baik secara ekonomi maupun politik. Prakarsa, inovasi, dan kemandirian terpasung. Sumber daya (ekonomi dan SDM) terkuras. Karena itu, serta-merta berharap ada perubahan besar di desa sepertinya kurang masuk akal.

Belajar lebih satu dekade otonomi daerah, jangan-jangan otonomi desa hanya bernasib sama: menciptakan oligarki atau raja-raja kecil di desa disertai desentralisasi korupsi. Dengan cengkeraman ideologi neoliberal yang merasuk hingga ke desa, otonomi desa bakal jadi ajang akumulasi kapital para pebisnis dan komprador. Jangan-jangan elite desa terjebak penyakit rabun yang sama dengan elite kabupaten/kota: cenderung berorientasi pembangunan fisik (jembatan, gapura, jalan raya dan gedung-gedung). Jika ini yang terjadi, pelarian modal (uang dan sumber daya manusia) dari desa akan tetap langgeng.

Pelarian modal dari desa bisa dikurangi, bahkan mungkin dicegah, apabila para elite desa tak tergoda orientasi fisik, tapi pemberdayaan. Untuk memutus ketergantungan akut dari input luar misalnya, petani harus diberdayakan bisa memproduksi sarana produksi sendiri, mulai bibit, pupuk, pestisida hingga rakitan teknologi.

Secara teknis hal ini mestinya tidak terlalu sulit karena pelbagai temuan sudah ada. Berikutnya, otonomi desa akan sulit membendung pelarian sumber daya manusia apabila tidak tercipta peluang usaha dan kerja di desa. Peluang usaha dan kerja di desa akan menekan pengangguran dan kemiskinan. Ini hanya bisa dilakukan bila ada perubahan strategi industrialisasi dan pembangunan nasional.

Untuk menghapus kemiskinan di perdesaan harus dilakukan pembangunan perdesaan. Terkait dengan ini, tidak ada pembangunan perdesaan tanpa pembangunan pertanian. Oleh karena itu, usaha menciptakan peluang kerja tidak akan berhasil tanpa upaya sistematis membenahi kebijakan dan keberpihakan pada sektor pertanian dan industri pengolahan yang memiliki kaitan erat dengan sektor pertanian.

Dari sisi petani tanah, modal, pengetahuan dan teknologi, serta akses pasar jadi kebutuhan primer. Tidak cukup hanya redistribusi tanah.

Arah pembangunan juga harus dibalik: dari sektor nontradable (sektor keuangan, jasa, real estat, transportasi, dan komunikasi, serta perdagangan/ hotel/restoran) yang bersifat padat modal, teknologi dan pengetahuan ke sektor tradable (pertanian, pertambangan, dan manufaktur) yang padat tenaga kerja dan berbasis lokal.

Pasalnya, orientasi pembangunan semacam itu telah menciptakan kesenjangan kota-desa, keterbelakangan desa, dan marginalisasi ekonomi perdesaan. Orientasi ini harus dihentikan. Melihat luasnya cakupan dan dimensi yang harus ditangani, prasyarat ini tak bisa diselesaikan sendiri oleh desa. Justru peran pemerintah pusat amat menentukan berhasil tidaknya pelarian modal desa dibendung