Sofyan Sjaf
“pamanku dari desa……..dibawakannya rambutan, pisang…..dan sayur mayur segala rupa…………….”
Syair ciptaan AT. Mahmud yang sempat populer tahun 60-an dikalangan anak-anak ini mengingatkan kepada kita betapa kayanya potensi pertanian yang dimiliki desa. Disisi lain, lagu tersebut juga menyiratkan kepada kita terdapatnya dikotomi desa dan kota atau dengan kata lain sebutan desa sering diidentikan “lawan” dari kota. Di desa kita tidak akan menemukan plaza atau mall, seperti adanya di kota. Kalaupun ada berarti ia tidak dapat disebut desa lagi. Begitupun sebaliknya, di kota kita tidak akan menemukan hamparan sawah yang luas, udara yang segar, semangat kegotong royongan dan musyawarah untuk mufakat serta ‘welas asih’ antar sesama warga masyarakat.
Akan tetapi, desa dapat saja berubah menjadi kota, dikarenakan desa tidak lain merupakan struktur atau bangunan dari kota itu sendiri. Hamparan sawah yang luas, udara segar, kultur gotong royong dan mufakat serta welas asih sesama warga mungkin akan hilang seketika. Kultur gotong royong dan mufakat digan-tikan dengan kultur individualistik, hamparan sawah digantikan dengan bangunan-bangunan pabrik yang berdiri ‘congkak’, udara yang tadinya segar menjadi asap hitam yang tidak ‘sedap’ dihirup lagi dan lain sebagainya. Semua ini dikarenakan gelombang modernisasi dengan karakteristik kapitalismenya mampu masuk ke ‘jantung-jantung’ desa sehingga menyebabkan terjadinya perubahan desa secara struktural.
Begitupun sepanjang sejarah politik di Indonesia, dari zaman kolonial hing-ga kini, desa sebagai satuan komunitas seringkali dijadikan sebagai obyek eksploi-tasi para penguasa, elit politik, dan pemodal untuk mencapai tujuan-tujuannya[1]. Dengan ‘keluguannya’, orang desa legowo menerima pengekploitasian dari sang kapitalis, kalaupun mereka tidak setuju dengan pengeksploitasian tersebut, diam adalah perlawanan yang terbaik, seperti halnya perlawanan yang dilakukan oleh orang Samin[2].
Uraian di atas, merupakan bagian terkecil dari gambaran desa yang sesung-guhnya. Untuk itu, sebelum memahami lebih jauh tentang desa, ada baiknya kita pahami apakah desa itu? Bagaimana masa lalu desa di bawah eksploitasi pengua-sa dan antek-anteknya? Bagaimana perkembangan desa? Apa saja yang menjadi problematika desa hingga kini? Dan agenda apa yang perlu dilakukan untuk masa depan desa?
Tulisan ini dimaksudkan tidak lain untuk menjawab pertanyaan di atas. Un-tuk itu, penulis akan mencoba menguraikan batasan definisi desa dari berbagai tinjauan, sehingga dapat secara langsung terungkap berbagai problematika yang terjadi di desa dan mengetahui apa saja yang menjadi agenda fokus utama untuk masa depan desa di Indonesia.
Desa Dari Berbagai Tinjauan
Tabiat dari manusia dengan insting-nya adalah hidup bersama-sama. Hidup bersama-sama ini tidak lain bertujuan untuk: hidup (mencari makan, pakaian dan perumahan); mempertahankan hidupnya terhadap ancaman dari luar; dan ketiga mencapai kemajuan dalam hidupnya.[3] Dari insting dan kesadarannya, manusia membentuk apa yang disebut desa. Sebutan desa awalnya hanya dipakai di daerah Jawa, Madura dan Bali, sementara untuk daerah lain sebutan desa sangat beragam, seperti: dusun (Sumatera Selatan), dusundati (Maluku), pendukuhan (Batak) dan lain sebagainya.[4]
Secara umum, desa menurut Soetardjo Kartohadikoesoemo adalah suatu kesatuan hukum, dimana bertempat tinggal suatu masyarakat yang berkuasa me-ngadakan pemerintahan sendiri. Lebih jauh, Kartohadikoesoemo menambahkan bahwa desa terjadi dari hanya satu tempat kediaman masyarakat saja, ataupun ter-jadi dari satu induk-desa dan beberapa tempat kediaman sebagian daripada masya-rakat hukum yang terpisah yang merupakan kesatuan-kesatuan tempat tinggal sendiri, kesatuan-kesatuan mana dinamakan pendukuhan, ampean, kampung, cantilan, beserta tanah pertanian, tanah perikanan, tanah hutan dan tanah belukar.[5]
Dari definisi Kartohadikoesoemo di atas, terlihat jelas bahwa setiap desa mempunyak bentuk dan karakteristik masing-masing dan tidak bisa disamakan antar satu desa dengan desa yang lainnya. Jadi, setiap desa mempunyai varian yang berbeda dengan desa lainnya. Sebagai contoh, di Jawa Barat, tiap-tiap desa mempunyai balai desa sebagai tempat pertemuan atau rapat-rapat masyarakat desa dan sekaligus tempat pemerintahan desa berkantor, sementara di Jawa Timur, balai desa tidak diperlukan, karena tempat pertemuan masyarakat desa seringkali dilakukan di rumah kepala desa yang mempunyaipendopo yang digunakan seba-gai tempat pertemuan antar masyarakat dan pemerintah desa.
Definisi umum yang disampaikan oleh Kartohadikoesoemo sebelumnya, memperlihatkan kepada kita akan empat hal penting definisi desa dari berbagai tinjauan yang perlu dijelaskan lebih lanjut, yaitu: (1) desa dalam tinjauan geneo-logis, territorial dan campuran; (2) desa dalam tinjauan sosiologis; (3) desa dalam tinjauan ekonomi; dan (4) desa dalam tinjauan politik dan hukum.
Desa Tinjauan Geneologis, Territorial dan Campuran
Definisi desa dari tinjauan geneologis, tinjauan terrirotial dan tinjauan cam-puran mempunyai perbedaan. Dimana desa dari tinjauan geneologis lebih menekankan kepada hubungan kekerabatan, sedangkan tinjauan territorial lebih menekankan kepada hubungan tinggal dekat. Sementara itu, desa dari tinjauan campuran adalah gabungan dari dua diktum yang telah disebutkan sebelumnya.
Untuk tinjauan geneologis dikemukan oleh Soetardjo Kartohadikoesoemo[6]. Menurutnya, bentuk desa dari tinjauan geneologis ini terbagi ke dalam beberapa jenis desa, anatara lain: (1) suatu bentuk yang terjadi dari orang-orang yang mem-punyai persamaan keturunan dari seorang bapak yang pertama dan bapak-bapak yang diturunkan oleh bapak yang pertama itu, seperti: desa yang terdapat di Nias, Batak, Bali dan lain-lain; (2) bentuk yang berpedomana pada ‘hak ubu’, dimana yang dianggap warga masyarakat adalah mereka yang diturunkan oleh ibu perta-ma dan ibu-ibu yang dituakan oleh ibu yang pertama dalam suku itu, seperti: desa di Minangkabau, Kerinci, Semendo dan beberapa desa di bagian Indonesia Timur; (3) bentuk yang memandang antara faktor laki-laki dan perempuan sama berharga, seperti: di Kalimantan dan Sulawesi; dan (4) bentuk yang berdasarkan aturan, dimana seorang anak baik masuk kerabat bapak, maupun masuk kerabat ibu, se-perti: desa di Rejang.
Berbeda dengan tinjauan geneologis, desa dari tinjauan territorial, menurut Kartohadikoesoemo[7], terdiri dari tiga jenis desa, yaitu: (1) persekutuan dusun, seperti: di Madura, Jawa dan Bali. Beberapa sifat yang dimiliki oleh jenis perse-kutuan dusun adalah masyarakat terjadi dari orang-orang yang tidak terikat oleh hubungan darah, bertempat tinggal disuatu tempat, mempunyai wilayah dengan batas yang tertentu, mempunyai pemerintah yang berkuasa dan lain-lain; (2) persekutuan daerah, dimana sifatnya terdiri dari: terdapatnya beberapa kediaman masyarakat yang terpisah dengan masyarakat yang lainnya, masing-masing tempat mempunyai kekuasaan tersendiri, tempat-tempat kediaman tersebut menjadi hukum yang lebih besar dan sebagainya. Jenis persekutuan ini terdapat di Ang-kola, Mandailing dan lain-lain; dan (3) gabungan dusun, dapat dijumpai di daerah pedalaman Batak. Adapun sifatnya: dalam suatu desa ada beberapa desa, desa-desa tersebut mempunyai wilayah dan batas sendiri-sendiri, mempunyai peme-rintahan sendiri dan lain-lain.
Berbeda dengan Kartohadikoesoemo, desa dalam tinjauan territorial menu-rut Bintarto[8] adalah suatu hasil perpaduan kegiatan sekelompok manusia dengan lingkungan. Hasil dari perpaduan itu ialah suatu ujud atau kenampakan di muka bumi yang ditimbulkan oleh unsur-unsur fisiografi, sosial, ekonomi, politik dan kultural yang saling berinteraksi antar unsur tersebut dan juga dalam hubungannya dengan daerah-daerah tersebut. Sehingga unsur-unsur desa, menurut Bintarto (1983), terdiri dari: (1) daerah, dalam arti tanah-tanah yang produktif dan tidak produktif, beserta penggunaannya, termasuk juga unsur lokasi, luas dan batas yang merupakan lingkungan geografi setempat; (2) penduduk, adalah yang meli-puti jumlah, pertambahan, kepadatan, persebaran dan mata pencaharian penduduk desa setempat; dan (3) tata kehidupan, dalam hal ini pola tata pergaulan dan ikatan-ikatan pergaulan warga desa. Umumnya desa didiami oleh sejumlah kecil penduduk dengan kepadatan yang rendah.[9]
Terdapat satu lagi definisi desa yang diungkapkan oleh Kartohadikoesoemo, yaitu desa campuran. Desa dalam bentuk campuran ini terdiri dari lima jenis, yai-tu: (1) suatu masyarakat seturunan (suku) menetap disuatu daerah yang kemudian menentukan wilayahnya dengan batas-batas tertentu, seperti desa yang terdapat di Buru; (2) suatu daerah hukum territorial disamping suku atau beberapa suku (bagian suku) terdapat golongan-golongan dari lain-lain suku atau orang-orang perseorangan sebagai warga kelas dua dalam hal melakukan hak tatapraja dan menguasai tanah, seperti: di Batak Toba dan Rejang; (3) suatu daerah hukum territorial terdapat suatu suku (bagian suku) sebagai warga daerah asli, seperti: di Sumba Tengah dan Sumba Timur; (4) daerah hukum territorial (nagari, marga) terdapat bagian-bagian suku yang satu dengan yang lain, seperti: di Minangkabau dan Bengkulu; dan (5) daerah hukum territorial terdapat beberapa bagian suku yang satu dengan yang lain tidak ada hubungan darah, seperti di Minangkabau dan Rejang.
Desa Tinjauan Sosiologis
Dalam tinjauan sosiologis, desa dapat didefinisikan sebagai tempat berakti-vitasnya suatu komunitas yang memiliki corak tersendiri. Kuntowijoyo[10] membe-rikan gambaran bahwa desa pada masa lampau merupakan komunitas agraris yang tertutup, berbudaya homogen, dan didominasi oleh ikatan tradisional dengan struktur supradesa yang bersifat feodal dan kolonial. Di desa mereka – warga desa – melakukan hubungan antar satu sama lain. Pada masa lalu, hubungan yang feodal membagi masyarakat ke dalam dua kelas, yaitu: kelas produksi dan kelas konsumtif. Mereka yang tergolong kelas produksi adalah petani yang menye-diakan sumber bahan baku pangan bagi kolonial (kelas konsumtif).
Dalam perjalanannya, sisa-sisa feodal tetap membekas dan pembagian kelas di desa tidak dapat hilang begitu saja. Status masyarakat tetap terbagi ke dalam dua golongan besar, yaitu: golongan priyayisebagai kelas atas dan wong cilik sebagai kelas bawah[11]. Tempat tinggal dua golongan ini pun berbeda, priyayi ber-tempat tinggal di kota sementara wong cilik bertempat tinggal di desa.[12]
Dikotomi dua golongan di atas juga diakui oleh Maschab[13], menurutnya de-sa sering dipertentangkan dengan kota. Desa digambarkan sebagai suatu bentuk kesatuan masyarakat atau komunitas yang bertempat tinggal dalam suatu lingku-ngan dimana mereka saling mengenal dan corak kehidupan mereka relatif homo-gen serta banyak tergantung dengan alam. Senada dengan Kuntowijoyo, Maschab[14]mengatakan bahwa secara sosiologis desa sebagai tempat hidup suatu masyarakat yang bermata pencaharian di bidang pertanian, memiliki ikatan sosial, adat istiadat yang masih kuat sifat jujur dan bersahaja, pendidikan yang relatif ren-dah dan lain sebagainya.
Definisi diatas, menurut Suhartono[15] memberikan sifat tersendiri[16] bagi desa sebagai satuan komunitas suatu masyarakat. Namun umumnya, desa seringkali dipandang ‘sebelah mata’ atau sinis oleh masyarakat kota. Suhartono mengatakan bahwa semua ini pada dasarnya menggambarkan: (1) adanya perbedaan antara penduduk desa dan kota; dan (2) adanya proses yang mendorong perubahan desa (biasanya disebut modernisasi).
Desa Tinjauan Ekonomi
Desa menurut tinjauan ekonomi adalah wilayah yang penduduk atau masya-rakatnya bermatapencaharian pokok dalam di bidang pertanian, bercocok tanam atau agraria, atau nelayan.[17]Wirandi dalam Suhartono[18] menyatakan bahwa desa dalam tinjauan ekonomi lebih menekankan pada sisi produksi, dimana melihat desa sebagai suatu komunitas masyarakat yang memiliki model produksi yang khas.
Sementara itu, Hayami-Kikuchi masih dalam Suhartono[19] memandang bah-wa desa mengandung arti sebagai tempat orang hidup dalam ikatan keluarga dalam suatu kelompok perumahan dengan saling ketergantungan yang besar di bidang sosial ekonomi. Desa biasanya terdiri dari rumah tangga petani dengan produksi, konsumsi dan investasi sebagai hasil keputusan secara bersama.
Dalam hal ini, Suhartono (2001) berpendapat bahwa saling ketergantungan dan saling kerjasama antar rumah tangga petani merupakan citra yang sudah melekat pada masyarakat desa.[20]
Desa Tinjauan Hukum dan Politik
Berbicara mengenai desa dalam tinjauan hukum dan politik maka sangat berkaitan erat dengan kajian kesejarahan, seperti yang telah dijelaskan sebelum-nya oleh Kartohadikoesoemo. Dalam arti kata, desa mempunyai otoritas dan otonomi dalam mengurus rumah tangganya sendiri tanpa intervensi ‘pihak luar’. Namun, realita sejarah berkata lain, pada masa lalu peran kolonial Belanda dan rezim-rezim sebelumnya sangat dominan dalam melakukan intervensi pengaturan terhadap desa-desa di Indonesia. Sebagai contoh, pihak Belanda dapat saja dengan mudah menunjuk seorang kepala desa tanpa melalui suatu prosedur atau aturan hukum desa setempat guna memuluskan tujuan-tujuan yang ingin dicapai. Begitupun ketika orde baru berkuasa, gerakan penyeragam desa tidak tanggung-tanggung dilakukan untuk kepentingan sesaat rezim saat itu[21]. Ini berarti otoritas dan otonomi desa yang sesungguhnya tidak ada lagi.
Kemudian desa dari tinjauan hukum dan politik lebih menekankan kepada tata aturan yang menjadi dasar pengaturan kehidupan masyarakat yang memiliki kesatuan hukum, berkuasa dan mengadakan pemerintahan sendiri. Karena setiap desa berbeda tata aturannya, maka kesatuan masyarakat hukum di sebuah daerah, tidak menjadi bagian dari kesatuan masyarakat hukum daerah lainnya. Sebagai contoh, di Jawa, desa merupakan daerah yang berdiri sendiri, memiliki rakyat sendiri, penguasa sendiri dan mungkin pula harta benda sendiri, dan dengan demi-kian hukum yang berlaku didalamnya adalah hukum tunggal, satu, tidak bervariasi nilai. Kondisi ini jelas berbeda di desa-desa Tapanuli, dimana kesatuan masya-rakat hukum adat mempunyai bentuk yang bertingkat. [22]
Untuk itu, desa seyogyanya dipandang sebagai subyek dalam penyeleng-garaan kehidupan berbangsa dan bernegara dengan ragam coraknya sendiri, bukan malah sebaliknya sebagai obyek yang harus mengikuti keseragaman melalui kebi-jakan pemerintah. Maka dari itu, demokratisasi desa merupakan syarat mutlak untuk mewujudkan otonomi desa itu sendiri. Demokratisasi desa dimaksudkan untuk menghidupkan kesatuan hukum masyarakat yang selama ini telah menga-lami polarisasi akibat kebijakan keseragaman oleh pemerintah. Sehingga masyarakat desa dapat mengaktualisasikan dan mengapresiasikan sosial – budaya yang menjadi bangunannya selama ini.
Perkembangan Desa
Terdapat dua pendapat yang berbeda mengenai asal usul terbentuknya desa. Pendapat pertama, yang identik dengan perkembangan desa dari dalam, meng-atakan bahwa komunitas desa semula terbentuk dari sekelompok orang yang masih mempunyai ikatan darah (keluarga), yang dengan bebas bermukim secara menetap pada suatu lokasi tertentu setelah membuka tanah (bertani). Dari sanalah kemudian keluarga tersebut berkembang dan mengembangkan kekuasaan politik untuk pengaturan lebih lanjut, baik dalam mengatur komunitas atau mengatur sumberdaya yang terbatas.[23]
Kedua, perkembangan desa tidak lain merupakan hasil rekayasa (buatan) dari kekuasaan besar yang sudah lebih terdahulu terbentuk. Ini dapat dilihat dari desa yang terbentuk akibat dari politik kerajaan-kerajaan terdahulu, dan demikian pula desa dalam ikatan administratif territorial untuk penarikan pajak dan tenaga kerja yang tidak lain akibat dari politik kolonial.[24] Sehingga dapat dikatakan perkembangan desa memiliki bentuk dan karakteristik masing-masing yang ber-beda disetiap daerah sesuai dengan historisnya.
Dalam tulisan ini, merujuk tulisan Suhartono berjudul politik lokal, penulis membagi tiga perkembangan penting dari desa. Adapun ketiga perkembangan ter-sebut, sebagai berikut:
- 1. Desa di Zaman Feodal
Desa di zaman feodal sangat tergantung atau di bawah kekuasaan se-orang raja. Ini berkaitan erat dengan teori milik raja (vorstendomein), yaitu raja pemilik tanah seluruh kerajaan, dan dalam pemerintahannya dibantu oleh birokrat yang terdiri dari sentana dan narapraja.[25]
Jika tanah dikuasai oleh raja berarti rakyat – petani – mempunyai akses yang sangat kecil terhadap tanah dan berarti segala hasil produksi pertanian yang dihasilkan oleh petani setidaknya harus dibagi kepada raja dan para pejabat kerajaan. Sistem feodal ini berdampak terhadap rendahnya daya tawar petani dalam pengeloaan aset-aset sumberdaya yang dimiliki desa karena pengelolaan tanah oleh petani tidak lain wujud dari kepentingan atau kekua-saan dari raja. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa rakyat atau petani boleh mengelola tanah jika mendapat restu dari sang penguasa ‘raja’. Untuk itu, mobilisasi atau gerak maju dan gerak mundur desa di zaman feodal sangat tergantung pada intervensi kekuasaan raja. Perubahan tidak dapat dilihat sebagai proses wajar dalam kehidupan, melainkan merupakan berkah dari seorang raja.[26]
- 2. Desa di Masa Kolonial
Tidak banyak yang diharapkan adanya perubahan desa pada masa kolo-nial ini jika dibanding desa di zaman feodal. Mengapa demikian? Setidaknya, menurut Kartodirjo[27], desa di masa kolonial ini ditandai dengan watak koloni-alisme yang mana hubungannya berpangkal pada prinsip dominasi, eksploitasi, diskriminasi dan dependensi.
Posisi kehidupan rakyat – petani – tetap termarjinilisasi dalam arti kata tidak mengangkat kehidupannya kearah yang lebih baik, bahkan dapat dikata-kan lebih parah jika dibandingkan desa di bawah kekuasaan feodalistik. Me-nurut Suhartono (2000), meskipun corak produksinya “berbau” kapitalistik yang berbeda dengan perkembangan desa sebelumnya, akan tetapi tidak ber-tabrakan langsung dengan corak produksi feodal.
Disadari bahwa pada masa kolonial, penguasan kolonial mampu membe-baskan tanah dari kungkungan raja atau kaum bangsawan serta menerapkan proses liberalisasi. Akan tetapi, tidak berarti bahwa masyarakat desa atau petani mengalami proses transformasi kehidupan kearah yang lebih baik. Malah sebaliknya, status masyarakat desa makin parah akibat dari pengek-ploitasian segala bentuk sumberdaya desa[28] – termasuk para petani didalamnya – demi mendapatkan keuntungan yang lebih besar dan dalam waktu yang sangat.
- 3. Desa Pasca Kolonial
Perkembangan desa tidak berubah banyak pada pasca kolonial ini. Desa sebagai satu kesatuan hukum dalam bermasyarakat yang mempunyai pemerin-tahan sendiri dan berhak mengatur pengelolaan terhadap aset-aset sumberdaya desa ternyata hanya sebuah utopia.
Akibat dari kebijakan yang top down oleh rezim pada saat itu menye-babkan perkembangan desa tidak mempunyai arti apa-apa. Petani masih tetap dalam kondisinya seperti dahulu, dimana teraleanasinya petani terhadap akses sumberdaya, sehingga dapat dikatakan transformasi kearah kesejahteraan petani tidak mengalami perubahan yang cukup signifikan. Ini dapat dilihat dari keengganan pemerintah untuk melakukan reforma agraria yang ditandai dengan pembekuan Undang-Undang Pembaharuan Agraria (UUPA Tahun 1960). Semua ini merupakan bukti dari ketidakberpihakan pemerintah terha-dap persoalan yang substansial bagi masyarakat desa di Indonesia.
Tidak hanya itu, kelembagaan desa yang mempunyai karakteristik dan varian yang berbeda-beda yang mana sesuai dengan akar budaya masing-masing desa, oleh Pemerintah dilakukan penyeragaman kelembagaan desa dengan diberlakukannya kebijakan pemerintah berupa UU No. 5 Tahun 1979.
Problematika dan Agenda Masa Depan Desa
Dari beberapa tinjauan pendefinisian dan perkembangan desa yang telah diuraikan di atas, setidaknya akan dapat membantu kepada kita untuk mengetahui apa saja yang menjadi problematika desa selama ini. Dalam tulisan ini, penulis mengajukan beberapa problematika utama yang dihadapi desa-desa di Indonesia, yaitu: pertama, adanya dikotomi kota – desa, berakibat terhadap ketimpangan pembangunan yang selama ini terjadi di desa. Dikarenakan desa selalu diidentik-kan dengan keterbelakangan, kemalasan, kemiskinan dan lain sebagainya menye-babkan model pembangunan desa seringkali salah arah. Desa selama ini selalu dijadikan sebagai obyek pembangunan, sebagai contoh, desa ketika pemerintahan orde baru diprogramkan sebagai “pos-pos” swasembada beras dan oleh karena itu pengadopsian teknologi merupakan syarat mutlak untuk mewujudkan program tersebut.
Semua ini tidak lain karena pembangunan desa selalu dipandang dari sudut pandang ‘orang luar’ bukan berdasarkan sudut pandangan ‘orang dalam’ yang lebih mamahami problematika desanya. Kondisi ini tidak terlepas dari pengaruh pemahaman modernisasi yang dianut oleh pemerintah dan seolah-olah dipaksa-nakan untuk diterapkan pada tingkatan desa. Model pembangunan desa merupa-kan salah satu problematika desa yang belum terselesaikan hingga hari ini, untuk itu, yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana sesungguhnya model pembangun-an di desa itu sendiri? Bagi penulis, model pembangunan desa seyogyanya berdasarkan kebutuhan internal desa itu sendiri dengan kata lain berdasarkan pendekatan sosio-kultur masing-masing desa.
Kedua, problematika dan agenda masa depan desa berikutnya adalah seputar permasalahan tanah atau dengan kata lain problematika agraria. Menurut penulis, desa hadir sangat berkaitan erat dengan tanah, dikarenakan tanah adalah pusat produksi bagi masyarakat pedesaan yaitu petani/peasant. Sebagai akibat dari pilihan modernisasi pertanian yang ditandai dengan pesatnya pertumbuhan indus-trilisasi di bawah payung MNC (Multi National Cooperation) berdampak terha-dap termarjinalisasinya kaum tani[29]di tanahnya sendiri. Kondisi ini berakibat curamnya jurang pemisah antara petani kaya dan petani miskin, dimana ‘petani kaya makin kaya dan petani miskin makin miskin’. Seharusnya, petani-petani sub-sistensi yang jumlahnya banyak inilah yang perlu diperhatikan oleh pemerintah bukan para farmeratau mereka yang beraliansi ke MNC yang mendapat perhatian khusus dari para pengambil kebijakan di negara ini.
Sesuai dengan kondisi di atas, gejala keterpurukan sektor pertanian di Indo-nesia yang ditandai dengan semakin ‘membengkaknya’ angka petani subsistensi disambut kritis oleh Bonnie Setiawan.[30]Menurutnya permasalahan substansi dan fundamental sektor pertanian di Indonesia adalah masalah struktural yang menda-lam. Masalah struktural ini tidak lain bagaimana mentransformasikan puluhan juta kaum tani miskin dan marjinal ke dalam dunia pertanian yang lebih modern dan yang memungkinkan mereka hidup layak.[31] Maka, kunci terpenting untuk agenda masa depan desa adalah melakukan agenda pembaruan agraria (agrarian reform) yang dapat membawa sektor pertanian kearah yang modern dan sehat.
Dan ketiga, secara historis perkembangan desa seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, dimana terlihat jelas ketidakberdayaan masyarakat desa atas hege-moni ‘pihak luar’ terhadap kesatuan hukum dalam wilayah desa menyebabkan ambruknya pranata kelembagaan desa yang telah ada sebelumnya. Setidaknya, menurut penulis, ambruknya pranata kelembagaan desa merupakan problematika tersendiri bagi desa-desa di Indonesia saat ini.
UU No. 5 Tahun 1979 di bawah kekuasan rezim orde baru yang menyera-gamkan kekuasaan desa dan menempatkan desa dibawah kekuasaan Camat secara langsung berakibat terhadap ‘mandulnya’ peran-peran politik masyarakat desa dan ‘matinya’ kreativitas dan apresiasi masyarakat desa dalam berpolitik. Untuk itu, langkah terbaik dalam rangka membangkitkan dan menghidupkan peran, kreati-vitas dan apresiasi politik warga desa yang juga merupakan agenda masa depan desa adalah melakukan apa yang disebut ‘demokrasi desa’. Demokrasi desa tidak lain merupakan demokrasi asli dari suatu masyarakat yang belum mengalami stratifikasi sosial. Jadi budaya ‘mufakat’ antar sesama warga desa masih dapat ditemukan.
Namun yang terpenting untuk menjadi perhatian dalam menumbuh kem-bangkan domokrasi desa ditengah-tengah kondisi masih banyaknnya desa yang menonjol struktur politik bersifat feodal dan autokratis, menurut Suhartono[32], diperlukan suatu upaya yang bukan saja mendorong perubahan-perubahan politik, melainkan juga perlu menyentuh segi-segi ekonomi atau struktur ekonominya.
Penutup
Pendefinisian desa secara tepat akan memungkinkan kita untuk memahami berbagai persoalan atau problematika yang menghimpit desa selama ini. Pema-haman akan berbagai permasalahan yang menghimpit desa ini, setidaknya dapat menghantarkan kita untuk menyusun berbagai agenda pokok masa depan desa yang berimplikasi secara langsung terhadap model pembangunan yang nantinya akan diterapkan di desa. Di Indonesia, hadirnya desa, keberadaan tanah, dan mata pencaharian di sektor pertanian merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipi-sahkan.
Karena mayoritas penduduk Indonesia saat ini diperkirakan bermukim di pedesaan, maka dapat dipastikan sektor pertanian merupakan fokus utama mata pencaharian masyarakat desa. Sehingga dapat dikatakan, ‘membangun desa = membangun Indonesia’. Membangun desa tentunya diperlukan agenda penting yang harus dikerjakan. Untuk itu, terdapat tiga agenda penting bagi masa depan desa, yaitu: (1) pembangunan desa melalui pendekatan sosial-budaya masing-masing desa; (2) melakukan pembaruan agraria; dan (3) demokrasi desa.
Daftar Pustaka
Asy’ari, S.I. 1993. Sosiologi Kota dan Desa. Penerbit Usaha Nasional Surabaya – Surabaya.
Bintarto, R. 1983. Interaksi Desa – Kota. Penerbit Ghalia Indonesia – Jakarta.
Djuliantara, D. et al. 2000. Menggeser Pembangunan Memperkuat Rakyat. Penerbit Lapera – yogyakarta.
Kartohadikoesoemo, S. 1953. Desa. Penerbit Sumur Bandung – Bandung.
Kuntowijoyo. 2002. Radikalisasi Petani. Penerbit Bentang – Yogyakarta.
Setiawan, Bonnie. 2003. Globalisasi Pertanian. Penerbit IGJ – Jakarta.
Suhartono, et al. 2001. Politik Lokal. Penerbit Lapera – Yogyakarta.
Tim Lapera. 2000. Politik Pemberdayaan: Jalan Mewujudkan Otonomi Desa. Penerbit Lapera – Yogyakarta.
Pelzer, K. J. 1985. Toen Keboen dan Petani: Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria. Penerbit Sinar Harapan – Jakarta.
[1] Banyak referens yang menyatakan pengeksploitasian orang desa dilakukan oleh para penguasa, elit politik dan para pemodal untuk mencapai tujuannya. Seperti yang dijelaskan oleh Karl J. Pelzer tentang perkebunan tembakau di desa-desa Sumatera Utara dekade 1880-an, dimana orang-orang desa di Sumatera Utara dipaksa untuk bekerja di perkebunan tembakau milik kolonial Belanda untuk kepentingan pasar ekspornya, begitupun pada dekade 1960-an dimana orang-orang desa yang tidak mengerti tentang apa itu komunis dituding sebagai ‘antek-antek’ komunis karena ikut dalam program yang digencarkan oleh PKI. Begitupun tidak luput dari ingatan kita bagaimana pemerintahan orde baru dengan kebijakan sentralistik dimana melakukan penyeragaman lembaga-lemabaga yang ada di pedesaan.
[2] Biasanya bentuk-bentuk perlawanan orang desa disesuaikan dengan norma-norma yang berlaku di komunitas mereka.
[3] Kartohadikoesoemo, S. 1953. Desa. Penerbit Sumur Bandung – Bandung, hal. 5.
[4] Menurut Soetardjo Kartohadikoesoemo, desa, dusun, desi dan begitupun halnya dengan negara, negeri, nagari, negory berasal dari perkataan sangsakerta yang artinya tanah air, tanah asal dan tanah kelahiran.
[5] Ibid 5, hal. 3-4.
[6] Ibid, hal. 44 – 45.
[7] Ibid, hal. 46 – 47.
[8] Bintarto, R. 1983. Interaksi Desa – Kota. Penerbit Ghalia Indonesia – Jakarta. hal. 46 – 47.
[9] Asy’ari, S.I. 1993. Sosiologi Kota dan Desa. Penerbit Usaha Nasional Surabaya – Surabaya, hal. 93
[10] Kuntowijoyo, 2002. Radikalisasi Petani. Penerbit Bentang – Yogyakarta.
[11] Istalah priyayi dan wong cilik dalam pembagian kelas di masyarakat pedesaan pada tulisan ini, mengacu pada definisi awal bahwa istilah desa awalnya berasal dari daerah Jawa, Madura dan Bali. Pembagian kelas dalam masyarakat pedesaan juga terjadi di pedesaan di luar Jawa, Madura dan Bali.
[12] Pembagian ini dapat dilihat dalam tulisan Kuntowijoyo (2002) dalam bukunya yang berjudul “Radikalisasi Petani” yang diterbitkan oleh Bentang – Yogyakarta. Halama: 4 – 5.
[13] Maschab (1992) dalam Suhartono, et al. 2001. Politik Lokal. Penerbit Lapera – Yogyakarta, hal. 10 – 11.
[14] Ibid.
[15] Suhartono, et al. 2001. Politik Lokal. Penerbit Lapera – Yogyakarta.
[16] Sifat yang dimaksudkan adalah sifat positif ataupun sifat negarif dari desa. Sifat positif, seperti: kebersamaan, kejujuran, rendah hati dana lain-lain. Sementara sifta negatif, seperti: kebodohan, keterbelakangan dan lain sebagainya.
[17] Asy’ari, S.I. 1993. Sosiologi Kota dan Desa. Penerbit Usaha Nasional Surabaya – Surabaya, hal. 93.
[18] Ibid 17, hal. 11.
[19] Ibid, hal. 11.
[20] Meskipun saat ini citra yang melekat pada rumah tangga petani ini sudah mulai memudar menurut beberapa akademisi. Memudarnya citra ini berkaitan erat dengna proses modernisasi desa yang banyak menciptakan deferensiasi sosial di masyarakat pedesaan kita.
[21] Penyeragam desa dapat dilihat kebijakan pemerintah terhadap masyarakat desa dalam UU No. 5 Tahun 1979. Undang-Undang ini secara jelas menempatkan desa sebagai suatu organisasi pemerintahan terendah di bawah Camat.
[22] Tim Lapera. 2000. Politik Pemberdayaan: Jalan Mewujudkan Otonomi Desa. Penerbit Lapera – Yogyakarta.
[23] Wirandi dalam Suhartono, et al. 2001. Politik Lokal. Penerbit Lapera – Yogyakarta, halaman 17.
[24] Ibid, halaman 17.
[25] Ibid, halaman 17-18.
[26] Ibid, halaman 19.
[27] Kartodirjo dalam Suhartono, et al. 2001. Politik Lokal. Penerbit Lapera – Yogyakarta, halaman 20.
[28] Salah satu bentuk pengekploitasian sumberdaya tersebut adalah diberlakukannya sistem kerja paksa yang memberikan penderitaan berarti bagi masyarakat desa di Indonesia.
[29] Kaum tani yang dimaksud disini adalah petani menurut definisi Wolf dan Willis yaitu petani subsistensi yang hidup dari usaha pengelolaan tanah milik sendiri.
[30] Bonnie Setiawan adalah Direktur Institute for Global Justice (IGC) yang menulis buku yang berjudi “Globalisasi Pertanian”.
[31] Ibid, halaman 166.
[32] Suhartono, et al. 2001. Politik Lokal. Penerbit Lapera – Yogyakarta, halaman 27.
Sumber : IPB